KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah ucapan puji
syukur tiada hentinya selalu saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat, taufiq, serta hidayahnya yang telah diberikan kepada kita,
sehubungan dengan tertulisnya makalah ini yang berjudul “Haal” pada
mata kuliah ilmu Nahwu. Makalah ini disusun untuk mengembangkan pengetahuan dan
wawasan para pembaca.
Dengan selesainya
makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan–kekurangan karena
sebagai manusia biasa pasti memiliki keterbatasan, baik pengetahuan, kemampuan
maupun pengalaman. Karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun guna
penyempurnaan makalah ini.
Dengan segala
kerendahan hati penulis menuturkan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1.
Ayahanda dan Ibunda serta keluarga dengan pembinaan dan berkah doa tulusnya, penulis
mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan tugas tepat pada waktunya.
2.
Darmawati,
S.Ag,. M.Pd.
selaku dosen pengajar mata kuliah Nahwu IV yang dengan ikhlas membagi
pengetahuan dan bimbingannya kepada mahasiswa.
3.
Kepala
Perpustakaan dan pegawai yang telah menyiapkan dan melayani mahasiswa khususnya
dalam menyediakan buku referensi.
4.
Para teman-teman yang menyempatkan
diri untuk saling bertukar pikiran,
membantu dalam penulisan makalah ini.
Semoga makalah ini
dapat memberikan penambahan yang luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini
mempunyai kekurangan, penulis mohon agar pembaca memberikan kritik dan sarannya
yang sifatnya membangun, karena makalah ini menurut penulis masih jauh dari
sempurna.
Parepare,
30 Maret 2013
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................3
A. Definisi Haal...............................................................................................3
B. Rangkaian
Tarkib Haal..............................................................................4
C. Syarat-syarat Haal.......................................................................................4
D. Kondisi-kondisi yang Berkaiatan
dengan Haal………………………….5
E. Faedah
Haal………………………………………………………………9
F. Peletakan Haal, Amil dan Shohibul Haal………………………………..10
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.......................................................................................12
B.
Saran.................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA…..........................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Didalam
ilmu nahwu itu terdapat macam-macam pembahasan. Ada kalanya pembahasan tentang kalam
dan ada kalanya juga juga pembahasan tentang i’rob. Dalam pembahasan i’rob
itu diklasifikasikan menjadi empat bagian yaitu: Ada i’rob rofa’,i’rob nashab,i’rob jar,dan juga i’rob jazem. Di dalam i’rob
nashab itu terdapat suatu pembahasan tentang Manshubatul asma’ (isim-isim yang
di baca nashab) yaitu: Maf’ul bih, Maf’ul Mutlaq, Maf’ul li Ajlih,Maf’ul
fih,Maf’ul Ma’ah, Tamyiz, Munada, Mustatsna, Isim inna, Khabar Kaana, Isim Lal
lati linafyil jinsih, Tawabi’ (Badal, Na’at, Athof, Taukid), Haal.
Disini, penulis akan berusaha semaksimal
mungkin untuk dapat menjelaskan secara mendetail mengenai Haal itu tadi, kenapa
kami disini membahas tentang Haal, karena kami rasa didalam sebuah i’rob
nashab itu pasti ada yang namanya Haal.
Maka dari itu, kami rasa pembahasan
tentang Haal itu sendiri
menjadi suatu hal yang penting juga untuk dikaji dan dibahas. Sesuai dengan
makalah dari salah satu ulama nahwiyyah di dalam kitab karangannya yang mana
beliau menegaskan bahwasannya, suatu kalam didalam bahasa Arab itu tidak
akan mungkin bisa difahami kecuali dengan menggunakan ilmu nahwu, maka
dari itu beliau menegaskan bahwasannya ilmu nahwu itu menjadi suatu ilmu
yang penting dan utama untuk di pelajari. Walaupun penulis disini tidak
mengkaji pembahasan tentang ilmu nahwu secara keseluruhan dari pembahasan ilmu
nahwu itu sendiri,akan tetapi penulis disini berharap pembahasan tentang Haal ini dapat
membantu kita untuk dapat mempelajari ilmu nahwu dengan mudah dan ringan,
Amiiiin.
B.
Rumusan masalah
Adapun rumusan
Masalah yang penulis dapat uraikan yaitu:
1.
Bagaimana definisi Haal?
2.
Bagaimana tarkib Haal?
3.
Apa saja Syarat-syaratnya Haal?
4.
Kondisi yang berkaitan Haal
5.
Faedah Haal
6.
Peletakkan Haal, ‘Amil Haal, dan Shohibul Haal
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Haal
Haal secara bahasa adalah suatu tingkah
yang dijalani seseorang baik tingkah baik atau tingkah jelek. Secara istilah
Haal ialah isim sifat yang menjadi ma’mul fudllah yang dibaca nashab dan
menerangkan tingkahnya Shohibul Haal (pelaku Haal).[1]
Dalam pengertian yang lain Haal adalah washf (sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi munthasib
(di nashabkan) dan memberikan keterangan keadaan.[2]
Contoh : اَذْهَبُ
مُنْفَرِدًا (aku akan pergi sendirian). Penjelasannya : اَذْهَبُ sebagai ‘amil yang menashobkan
lafadz مُنْفَرِدًا.
B. Rangkaian
Tarkib Haal
Haal mempunyai susunan atau tarkib yang terdiri dari ‘Amil,
Shohibul Haal, dan Haal.
1.
‘Amil adalah lafaz yang membentuk Haal, menjadikan Haal di
nashab. ‘Amil Haal itu terdiri dari Fi’il Madhi, Fi’il Mudhari, Fi’il Amr, dan
Isim Fi’il.
2.
Shohibul Haal adalah subjek atau pelaku yang dijelaskan oleh
Haal tentang keadaannya yang manakala isim dzohir dan ism dhomir.
3.
Haal adalah seperti halnya tertera di atas hanya saja
penekanannya Haal ialah lafadz yang menjelaskan tentang keadaan Shohibul Haal
ditinjau dalam maknanya karakter Haal tidak tetap.
Contoh : اَذْهَبُ مُنْفَرِدًا (aku
akan pergi sendirian ). Lafadz مُنْفَرِدًا dinashabkan oleh ‘amil yaitu lafadz اَذْهَبُ sedangkan Shohibul Haalnya ialah
dlomir yang tersimpan yaitu انا .
C. Syarat-syarat
Haal
Syarat-syarat
Haal terdiri dari :
1. berupa isim sifat, dalam arti isim
yang menunjukkan arti dan membentuk karakter Haal tersebut, dalam hal ini
kalimat isim adakalanya shorih dan muawwal bisshorih.
2. berupa ma’mul fudllah, dalam arti
tidak menjadi pokok isnad yaitu mubtada’ khobar atau fi’il fa’il (subjek dan
kata kerja), lawan kata ma’mul fudllah ialah ‘umdah (pokok isnad)
3. dibaca nashab bila tidak berupa
jumlah, sedangkan bila berupa jumlah maka dibaca mahal nashab (menduduki
jabatan nashab)
4. menjelaskan keadaan atau tingkah
5. berupa isim nakiroh[3]
D.
Kondisi-kondisi yang Berkaiatan
dengan Haal
1.
kondisi ‘amil
Kondisi ‘amil yang menashabkan Haal
adakalanya berupa fi’il mutashorrif contoh : جَاءَ زَيْدٌ
رَاكِبًا
(zaid telah datang seraya berkendaraan) atau isim sifat yang
keluar dari fi’il mutashorrif (Fiil yang bisa ditashrif) seperti halnya isim
fa’il atau isim maf’ul atau sifat musyabbihah (cabang dari fi’il mutashorrif)
Contoh :
Ø Isim Fa’il : زَيْدٌ جَا لِسٌ بَا كِياً (Zaid
orang yang duduk seraya menangis)
Lafadz جَا لِسٌ menjadi ‘amilnya بَا كِيًا dikarenakan lafadz جَا لِسٌ cabang dari fi’il mutashorrif جَلَسَ
Ø Isim Maf’ul : زَيْدٌ
مَضْرُوبٌ مُجَرَّدًا .(zaid orang yang dipukul)
Lafadz مَضْرُوبٌ menjadi
‘amilnya مُجَرَّدًا yang
memposisikan cabang atau pengganti ضَرَبَ
atau berupa af’al tafdhil yaitu isim
yang mempunyai makna lebih.
Contoh : زَيْدٌ اِنْفَعُ القَوْمِ مَعْلُماً. (zaid memberi manfa’at kepada kaum
yang alim).
2.
Kondisi Shohibul Haal
Shohibul Haal berupa isim ma’ritfat,
sama saja berupa isim dlohir atau ism dlomir, maka dari itu jika Shohibul Haal
berupa nakiroh maka harus ada musawwighnya (sesuatu yang memperbolehkan
Shohibul Haal berupa nakiroh) diantara musawwigh Shohibul Haal adalah :
a.
Hal didahulukan dan Shohibul Haal diakhirkan yang
dikarenakan berupa jar majrur atau dlorof.
Contoh
:
فِي الدَّارِ قَائِماً رَجُلٌ (Di
rumah terdapat seorang laki-laki sedang berdiri)
Lafadz
رَجُلٌ menjadi
Shohibul Haal قَائِماً dikarenakan susunan kalamnya berupa
jar majrur.
عِنْدَكَ قَئِماً رَجُلٌ (Di sisimu terdapat seorang
laki-laki sedang berdiri)
Lafadz
رَجُلٌ menjadi
Shohibul Haal قَائِماً dikarenakan susunan kalamnya berupa
dhorof.
b. Shohibul Haal ditakhshish dengan
sifat, ada kalanya ditakhshish dengan idlofah.
contoh
: فِيْهَا
يَفْرَقُ كُلّ امرٍ حَكِيْمٍ امرًا مِنْ عِنْدَ ناَ
(pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah yaitu urusan yang
besar disisi kami)
Lafadz
كُلّ
امرٍ menjadi shohibul haal lafadz امرًا karena adanya sifat lafadz حَكِيْمٍ
Dan
ada kalanya ditakhshish dengan Idhofah,
contoh
: فِي
اَرْبَعَةِ اَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّا ئِلِيْنَ (dalam empat masa (Penjelasan
sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya)
Dan
ada kalanya ditakhshish dengan ma’mulnya,
contoh
: اَجِبْتُ
مِنْ ضَرْبٍ اَخُوْكَ شَدِيْدًا (saya membalas dari pukulan
saudaramu yang sangat keras)
Lafadz
ضَرْبٍ menjadi
Shohibul Haal lafadz شَدِيْدًا dikarenakan adanya ma’mul yang
menentukannya yaitu lafadz اَخُوْكَ yang menjadi fa’ilnya masdar (ضَرْبٍ).
c. Shohibul Haal jatuh setelah nafi
atau Syibh nafi (nahi atau istifham)
Contoh
:
Shohibul
Haal yang jatuh setelah nafi : مَا جَاءَ رَجُلٌ رَ كِيبًا (tidak
ada laki-laki satu datang seraya berkendaraan)
Lafadz
مَا menjadi nafi,
lafadz جَاءَ menjadi ‘amil,
lafadz رَجُلٌ menjadi
shohibul haal, lafadz رَ كِيبًا manjadi haal.
Shohibul Haal yang jatuh setelah
Syibh nafi
Nahi : لاَ تَضْرِبْ رَجُلاً قَائِمًا (kamu tidak memukul seorang
laki-laki yang berdiri)
Lafadz menjadi nahi, lafadz
Istifham
: هَلْ
جَاءَ رَجُلٌ رَكِيبًا (apakah datang laki-laki seraya
berkendaraan)
3.
Kondisi Haal
a. Haal berupa mutanaqqil lagi musytaq,
artinya haal tersebut tidak tetap pada suatu sifat bahkan bisa berubah. Contoh
: جَاءَ
زَيْدٌ رَاكِبًا (zaid datang seraya berkendaraan)
b.
Terkadang Haal juga banyak terjadi dari isim jamid, jika berupa isim
jamid, maka harus ditakwili dengan isim Musytaq, yaitu terdapat pada:
1) isim yang menunjukkan arti harga.
Contoh : بِعْهُ
مُدّاً بِدِرْهَمٍ (juallah makanan itu satu dirham permudnya)
2)
isim yang menunjukkan arti tafa’ul (interaksi). Contoh : بِعْتُهُ يَدًّا بِيَدٍّ (aku
telah menjual barang secara serah terima)
3)
isim yang menunjukkan tasybih (perumpamaan). Contoh : كِرَّ زَيْدٌ اَسَدً(zaid telah
maju menyerang bagaikan singa)
4)
isim yang menunjukkan arti tertib. Contoh : اُدْخُلُوْا رَجُلاً (beberapa
laki-laki seraya masuk)[4]
c. Haal berupa isim nakiroh, apabila
bentuk lafadznya berupa ma’rifat maka maknanya ditakwilkan nakiroh. Contoh : اِجْتَهِدُ وَحْدَكَ (berjihadlah
kamu sendirian)
d. Haal berupa jumlah.
Contoh
:
جَاءَ زَيْدٌ وَهُوَنَاوٍرِحْلَة ً (zaid datang sedangkan dia berniat
untuk pergi) Jumlah Ismiyah
E. Faedah
Haal
1.
Mu’assisah : Haal yang untuk menyempurnakan kalam yang
dirasa kurang sempurna bila kalam tersebut tidak mencantumkan Haal.
2.
Mu’akkidah
a. Mu’akkidah lil ‘Amil : posisi hal
memperkuat makna ‘amil dalam mengutarakan kalam pada mukhottab. Contoh : لاَ تَعْثَ فِي الاَ رْضِ مُفْسِدًا (janganlah
kamu merajalela dimuka bumi seraya menimbulkan kerusakan).
b. Mu’akkidah lil Shohibil Haal
Contoh : قَامَ القَوْمُ كُلِّهِمْ جَمِيْعاً (semua
kaum berdiri seraya bersamaan). Lafadz
جَمِيْعاً berposisi
memperkuat dhomir هُمْ yang kembali pada lafadz اَلقَوْمُ
c. Mu’akkidah li madmunil jumlah
qoblaha
Dalam
penegasan ini Haal harus disimpan, ‘amilnya dan lafadz Haalnya harus berakhiran
(jatuh setelah jumlah) yang jumlah tersebut harus berupa isim ma’rifat lagi
jamid. Contoh : اَنَا زَيْدٌ مَعْرُوْفاً (saya zaid seraya mengerti).[6]
Dalam contoh tersebut haal berposisi menguatkan jumlah sebelumnya sedang yang
menashobkan haal ialah amil yang disimpan yaitu مَعْرُوْفاً اَحَقُّ
F. Peletakan
Haal, Amil dan Shohibul Haal
Kebanyakan
yang sering berlaku keadaan Haal ialah diakhiran dari amil dan shokhibul
haalnya tetapi dalam kondisi tertentu haal dapat mendahului amil dan shohibul
haalnya yaitu :
1.
Ketika Shohibul haal berupa nakiroh
2.
Ketika amil berupa isim sifat yang cabang dari fi’il
mutashorif
3.
Amil berupa afalut tafdhil yang ada di tengah-tengah antara
dua haal yang mempunyai shohibul haal dua dan antara shohibul haal dua tersebut
yang satu adalah melebihi dalam suatu tingkah atas shohibul haal yang lain. Haal
diakhirkan ketika amilnya berupa lafadz yang disimpani makna fi’il tanpa
hurufnya. Contoh : تِلْكَ هِنْدٌ
مُجَرَّدَة
Adakalanya haal boleh didahulukan
dan boleh diakhirkan ketika amil haal berupa fi’il mutashorif atau berupa sifat
yang menyerupai fi’il mutashorif.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Haal ialah isim sifat yang menjadi
ma’mul fudllah yang dibaca nashab dan menerangkan tingkahnya Shohibul Haal
(pelaku Haal).
o Rangkaian Tarkib Haal
§ ‘Amil
§ Shohibul Haal
§ Haal
o Syarat Haal
· berupa isim sifat
· berupa ma’mul fudllah
· dibaca nashab bila tidak berupa
jumlah
· menjelaskan keadaan atau tingkah
· berupa isim nakiroh
o Kondisi-kondisi yang Berkaiatan
dengan Haal
ü kondisi ‘amil
ü kondisi Shohibul Haal
ü kondisi Haal
o Faedah Haal
§ Mu’assisah
§ Mu’akkidah
v Mu’akkidah lil ‘Amil
v Mu’akkidah lil Shohibil Haal
v Mu’akkidah li madmunil jumlah
qoblaha
o Peletakan Haal, Amil dan Shohibul
Haal
Kebanyakan yang sering berlaku keadaan Haal ialah diakhiran
dari amil dan shokhibul haalnya tetapi dalam kondisi tertentu haal dapat
mendahului amil dan shohibul haalnya.
Haal diakhirkan ketika amilnya berupa lafadz yang menyimpan
makna fi’il tanpa hurufnya
Adakalanya haal boleh didahulukan dan boleh diakhirkan
ketika amil haal berupa fi’il mutashorif atau berupa sifat yang menyerupai
fi’il mutashorif.
B. Saran
Untuk para pembaca kami sebagai penulis menyarankan untuk mempelajari
sesuatu itu pelajarilah dari bawah lalu pelajari yang lebih atas lagi begitu
juga dengan ilmu nahwu pelajari dari bab paling dasar lalu pelajari yang lebih
atas agar lebih mengerti dan memahami ilmu nahwu dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Ibnu Aqil, Bahaud. 2000. Terjemahan
Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, Jilid I, Bandung : Sinar Baru Algesindo
Arra’ni, Syamsuddin. 2002. Ilmu
Nahwu Terjemah, Mutammimah Aj-Jurumiah, Surabaya : Al Hidayah
Huda, Nurul. 2011. Mudah Belajar
Bahasa Arab, Jakarta : AMZAH
Husein,
Syarifuddin. 1992. Minkhatul Malik, Semarang :
Toha Putra
[1]
Syarifuddin Husain, Minkhatul Malik, (Semarang : Toha Putra, 1992), hal.105
[2] Bahaud
Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2000), Jilid I, hal. 432
[3]
Syarifuddin Husain, Minkhatul Malik, (Semarang : Toha Putra, 1992), hal.105
[4]
Ibid,hal 108
[5]
Nurul Huda, Mudah Belajar Bahasa Arab, (Jakarta : AMZAH, 2011), hal.68
[6] Syekh Syamsuddin Muhammad Arra’ini, Ilmu Nahwu Terjemah Mutammimah Ajjurumiyah, (Surabaya
: Al-hidayah,), hlm. 235
[7]
Syarifuddin Husain, Minkhatul Malik, (Semarang : Toha Putra, 1992), hal.105
Tidak ada komentar:
Posting Komentar