Kamis, 04 Juni 2015

HAAL


KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

      Alhamdulillah ucapan puji syukur tiada hentinya selalu saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufiq, serta hidayahnya yang telah diberikan kepada kita, sehubungan dengan tertulisnya makalah ini yang berjudul “Haal” pada mata kuliah ilmu Nahwu. Makalah ini disusun untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan para pembaca.

      Dengan selesainya makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan–kekurangan karena sebagai manusia biasa pasti memiliki keterbatasan, baik pengetahuan, kemampuan maupun pengalaman. Karena itu, penulis mengharapkan kritik dan  saran yang sifatnya membangun guna penyempurnaan makalah ini.
      Dengan segala kerendahan hati penulis menuturkan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1.    Ayahanda dan Ibunda serta keluarga dengan pembinaan dan berkah doa tulusnya, penulis mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan tugas tepat pada waktunya.
2.    Darmawati, S.Ag,. M.Pd. selaku dosen pengajar mata kuliah Nahwu IV yang dengan ikhlas membagi pengetahuan dan bimbingannya kepada mahasiswa.
3.    Kepala Perpustakaan dan pegawai yang telah menyiapkan dan melayani mahasiswa khususnya dalam menyediakan buku referensi.
4.    Para teman-teman yang menyempatkan diri untuk saling bertukar pikiran,  membantu dalam penulisan makalah ini.
      Semoga makalah ini dapat memberikan penambahan yang luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini mempunyai kekurangan, penulis mohon agar pembaca memberikan kritik dan sarannya yang sifatnya membangun, karena makalah ini menurut penulis masih jauh dari sempurna.



                                                                        Parepare, 30 Maret 2013

                                                                                                penulis














DAFTAR  ISI


KATA PENGANTAR.............................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................iii
BAB I  PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.  Rumusan Masalah......................................................................................2

BAB II  PEMBAHASAN...................................................................................3
A. Definisi Haal...............................................................................................3
B. Rangkaian Tarkib  Haal..............................................................................4
C. Syarat-syarat Haal.......................................................................................4
D. Kondisi-kondisi yang Berkaiatan dengan Haal………………………….5
E. Faedah Haal………………………………………………………………9
F. Peletakan Haal, Amil dan Shohibul Haal………………………………..10




BAB III PENUTUP
A.                Kesimpulan.......................................................................................12
B.                 Saran.................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA…..........................................................................................14

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
      Didalam ilmu nahwu itu terdapat macam-macam pembahasan. Ada kalanya pembahasan tentang kalam dan ada kalanya juga juga pembahasan tentang i’rob. Dalam pembahasan i’rob itu diklasifikasikan menjadi empat bagian yaitu: Ada i’rob rofa’,i’rob nashab,i’rob jar,dan juga i’rob jazem. Di dalam i’rob nashab itu terdapat suatu pembahasan tentang Manshubatul asma’ (isim-isim yang di baca nashab) yaitu: Maf’ul bih, Maf’ul Mutlaq, Maf’ul li Ajlih,Maf’ul fih,Maf’ul Ma’ah, Tamyiz, Munada, Mustatsna, Isim inna, Khabar Kaana, Isim Lal lati linafyil jinsih, Tawabi’ (Badal, Na’at, Athof, Taukid), Haal.

      Disini, penulis akan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menjelaskan secara mendetail mengenai Haal itu tadi, kenapa kami disini membahas tentang Haal, karena kami rasa didalam  sebuah i’rob nashab itu pasti ada yang namanya Haal.

      Maka dari itu, kami rasa pembahasan  tentang Haal itu sendiri menjadi suatu hal yang penting juga untuk dikaji dan dibahas. Sesuai dengan makalah dari salah satu ulama nahwiyyah di dalam kitab karangannya yang mana beliau menegaskan  bahwasannya, suatu kalam didalam bahasa Arab itu tidak akan mungkin bisa difahami kecuali dengan menggunakan  ilmu nahwu, maka dari itu beliau menegaskan bahwasannya ilmu nahwu itu menjadi suatu  ilmu yang penting dan utama untuk di pelajari. Walaupun penulis disini tidak mengkaji pembahasan tentang ilmu nahwu secara keseluruhan dari pembahasan ilmu nahwu itu sendiri,akan tetapi penulis disini berharap pembahasan tentang Haal ini dapat membantu  kita untuk dapat mempelajari ilmu nahwu dengan mudah dan ringan, Amiiiin.
                                                       
B.     Rumusan masalah
Adapun rumusan Masalah yang penulis dapat uraikan yaitu:
1.   Bagaimana definisi Haal?
2.   Bagaimana tarkib Haal?
3.   Apa saja Syarat-syaratnya Haal?
4.   Kondisi yang berkaitan Haal
5.   Faedah Haal
6.   Peletakkan Haal, ‘Amil Haal, dan Shohibul Haal



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Haal
      Haal secara bahasa adalah suatu tingkah yang dijalani seseorang baik tingkah baik atau tingkah jelek. Secara istilah Haal ialah isim sifat yang menjadi ma’mul fudllah yang dibaca nashab dan menerangkan tingkahnya Shohibul Haal (pelaku Haal).[1] Dalam pengertian yang lain Haal adalah washf  (sifat) yang fadhlah (lebihan) lagi munthasib (di nashabkan) dan memberikan keterangan keadaan.[2] Contoh : اَذْهَبُ مُنْفَرِدًا (aku akan pergi sendirian). Penjelasannya : اَذْهَبُ sebagai ‘amil yang menashobkan lafadz  مُنْفَرِدًا.
B.     Rangkaian Tarkib Haal
Haal mempunyai susunan atau tarkib yang terdiri dari ‘Amil, Shohibul Haal, dan Haal.
1.   ‘Amil adalah lafaz yang membentuk Haal, menjadikan Haal di nashab. ‘Amil Haal itu terdiri dari Fi’il Madhi, Fi’il Mudhari, Fi’il Amr, dan Isim Fi’il.
2.   Shohibul Haal adalah subjek atau pelaku yang dijelaskan oleh Haal tentang keadaannya yang manakala isim dzohir dan ism dhomir.
3.   Haal adalah seperti halnya tertera di atas hanya saja penekanannya Haal ialah lafadz yang menjelaskan tentang keadaan Shohibul Haal ditinjau dalam maknanya karakter Haal tidak tetap.
 Contoh :  اَذْهَبُ مُنْفَرِدًا (aku akan pergi sendirian ). Lafadz مُنْفَرِدًا dinashabkan oleh ‘amil yaitu lafadz اَذْهَبُ sedangkan Shohibul Haalnya ialah dlomir yang tersimpan yaitu انا .
C.    Syarat-syarat Haal
Syarat-syarat Haal terdiri dari :
1.      berupa isim sifat, dalam arti isim yang menunjukkan arti dan membentuk karakter Haal tersebut, dalam hal ini kalimat isim adakalanya shorih dan muawwal bisshorih.
2.      berupa ma’mul fudllah, dalam arti tidak menjadi pokok isnad yaitu mubtada’ khobar atau fi’il fa’il (subjek dan kata kerja), lawan kata ma’mul fudllah ialah ‘umdah (pokok isnad)
3.      dibaca nashab bila tidak berupa jumlah, sedangkan bila berupa jumlah maka dibaca mahal nashab (menduduki jabatan nashab)
4.   menjelaskan keadaan atau tingkah
5.   berupa isim nakiroh[3]

D.    Kondisi-kondisi yang Berkaiatan dengan Haal
1.      kondisi ‘amil
Kondisi ‘amil yang menashabkan Haal adakalanya berupa fi’il mutashorrif contoh : جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا (zaid telah datang seraya berkendaraan) atau isim sifat yang keluar dari fi’il mutashorrif (Fiil yang bisa ditashrif) seperti halnya isim fa’il atau isim maf’ul atau sifat musyabbihah (cabang dari fi’il mutashorrif)
Contoh :

Ø  Isim Fa’il : زَيْدٌ جَا لِسٌ بَا كِياً (Zaid orang yang duduk seraya menangis)
Lafadz  جَا لِسٌ menjadi ‘amilnya  بَا كِيًا dikarenakan lafadz  جَا لِسٌ cabang dari fi’il mutashorrif  جَلَسَ 
Ø  Isim Maf’ul : زَيْدٌ مَضْرُوبٌ مُجَرَّدًا .(zaid orang yang dipukul)
Lafadz  مَضْرُوبٌ menjadi ‘amilnya مُجَرَّدًا   yang memposisikan cabang atau pengganti ضَرَبَ
atau berupa af’al tafdhil yaitu isim yang mempunyai makna lebih.
Contoh : زَيْدٌ اِنْفَعُ القَوْمِ مَعْلُماً. (zaid memberi manfa’at kepada kaum yang alim).


2.      Kondisi Shohibul Haal
Shohibul Haal berupa isim ma’ritfat, sama saja berupa isim dlohir atau ism dlomir, maka dari itu jika Shohibul Haal berupa nakiroh maka harus ada musawwighnya (sesuatu yang memperbolehkan Shohibul Haal berupa nakiroh) diantara  musawwigh Shohibul Haal adalah :
a.       Hal didahulukan dan Shohibul Haal diakhirkan yang dikarenakan berupa jar majrur atau dlorof.
Contoh :
 فِي الدَّارِ قَائِماً رَجُلٌ (Di rumah terdapat seorang laki-laki sedang berdiri)
Lafadz رَجُلٌ menjadi Shohibul Haal قَائِماً dikarenakan susunan kalamnya berupa jar majrur.
عِنْدَكَ قَئِماً رَجُلٌ (Di sisimu terdapat seorang laki-laki sedang berdiri)
Lafadz رَجُلٌ menjadi Shohibul Haal قَائِماً dikarenakan susunan kalamnya berupa dhorof.
b.      Shohibul Haal ditakhshish dengan sifat, ada kalanya ditakhshish dengan idlofah.
contoh : فِيْهَا يَفْرَقُ كُلّ امرٍ حَكِيْمٍ امرًا مِنْ عِنْدَ ناَ     (pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah yaitu urusan yang besar disisi kami)
Lafadz كُلّ امرٍ menjadi shohibul haal lafadz امرًا karena adanya sifat lafadz حَكِيْمٍ
Dan ada kalanya ditakhshish dengan Idhofah,
contoh : فِي اَرْبَعَةِ اَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّا ئِلِيْنَ (dalam empat masa (Penjelasan sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya)
Dan ada kalanya ditakhshish dengan ma’mulnya,
contoh : اَجِبْتُ مِنْ ضَرْبٍ اَخُوْكَ شَدِيْدًا (saya membalas dari pukulan saudaramu yang sangat keras)
Lafadz ضَرْبٍ menjadi Shohibul Haal lafadz شَدِيْدًا dikarenakan adanya ma’mul yang menentukannya yaitu lafadz اَخُوْكَ yang menjadi fa’ilnya masdar (ضَرْبٍ).
c.       Shohibul Haal jatuh setelah nafi atau Syibh nafi (nahi atau istifham)
Contoh :
Shohibul Haal yang jatuh setelah nafi : مَا جَاءَ رَجُلٌ رَ كِيبًا (tidak ada laki-laki satu datang seraya berkendaraan)
Lafadz مَا menjadi nafi, lafadz جَاءَ menjadi ‘amil, lafadz رَجُلٌ menjadi shohibul haal, lafadz رَ كِيبًا manjadi haal.
     Shohibul Haal yang jatuh setelah Syibh nafi
Nahi : لاَ تَضْرِبْ رَجُلاً قَائِمًا (kamu tidak memukul seorang laki-laki yang berdiri)
Lafadz menjadi nahi, lafadz
Istifham :  هَلْ جَاءَ رَجُلٌ رَكِيبًا (apakah datang laki-laki seraya berkendaraan)
3.      Kondisi Haal
a.       Haal berupa mutanaqqil lagi musytaq, artinya haal tersebut tidak tetap pada suatu sifat bahkan bisa berubah. Contoh : جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا (zaid datang seraya berkendaraan)
b.   Terkadang Haal juga banyak terjadi dari isim jamid, jika berupa isim jamid, maka harus ditakwili dengan isim Musytaq, yaitu terdapat pada:
1)      isim yang menunjukkan arti harga. Contoh : بِعْهُ مُدّاً بِدِرْهَمٍ (juallah makanan itu satu dirham permudnya)
2)      isim yang menunjukkan arti tafa’ul (interaksi). Contoh : بِعْتُهُ يَدًّا بِيَدٍّ (aku telah menjual barang secara serah terima)
3)      isim yang menunjukkan tasybih (perumpamaan). Contoh : كِرَّ زَيْدٌ اَسَدً(zaid telah maju menyerang bagaikan singa)
4)      isim yang menunjukkan arti tertib. Contoh : اُدْخُلُوْا رَجُلاً (beberapa laki-laki seraya masuk)[4]


c.       Haal berupa isim nakiroh, apabila bentuk lafadznya berupa ma’rifat maka maknanya ditakwilkan nakiroh. Contoh : اِجْتَهِدُ وَحْدَكَ (berjihadlah kamu sendirian)
d.      Haal berupa jumlah.
Contoh :
جَاءَ زَيْدٌ وَهُوَنَاوٍرِحْلَة ً (zaid datang sedangkan dia berniat untuk pergi) Jumlah Ismiyah
جَاءَ زَيْدٌ يَرْ كَبُ الدَّ رَا جَةِ ( zaid datang dengan menaiki sepeda) Jumlah Fi’liyah[5]
E.     Faedah Haal
1.      Mu’assisah : Haal yang untuk menyempurnakan kalam yang dirasa kurang sempurna bila kalam tersebut tidak mencantumkan Haal.
2.      Mu’akkidah
a.       Mu’akkidah lil ‘Amil : posisi hal memperkuat makna ‘amil dalam mengutarakan kalam pada mukhottab. Contoh :  لاَ تَعْثَ فِي الاَ رْضِ مُفْسِدًا (janganlah kamu merajalela dimuka bumi seraya menimbulkan kerusakan).

b.      Mu’akkidah lil Shohibil Haal

Contoh : قَامَ القَوْمُ كُلِّهِمْ جَمِيْعاً (semua kaum berdiri seraya bersamaan).     Lafadz جَمِيْعاً berposisi memperkuat dhomir هُمْ yang kembali pada lafadz اَلقَوْمُ
c.       Mu’akkidah li madmunil jumlah qoblaha
Dalam penegasan ini Haal harus disimpan, ‘amilnya dan lafadz Haalnya harus berakhiran (jatuh setelah jumlah) yang jumlah tersebut harus berupa isim ma’rifat lagi jamid. Contoh : اَنَا زَيْدٌ مَعْرُوْفاً (saya zaid seraya mengerti).[6] Dalam contoh tersebut haal berposisi menguatkan jumlah sebelumnya sedang yang menashobkan haal ialah amil yang disimpan yaitu  مَعْرُوْفاً  اَحَقُّ
F.     Peletakan Haal, Amil dan Shohibul Haal
      Kebanyakan yang sering berlaku keadaan Haal ialah diakhiran dari amil dan shokhibul haalnya tetapi dalam kondisi tertentu haal dapat mendahului amil dan shohibul haalnya yaitu :
1.      Ketika Shohibul haal berupa nakiroh
2.      Ketika amil berupa isim sifat yang cabang dari fi’il mutashorif
3.      Amil berupa afalut tafdhil yang ada di tengah-tengah antara dua haal yang mempunyai shohibul haal dua dan antara shohibul haal dua tersebut yang satu adalah melebihi dalam suatu tingkah atas shohibul haal yang lain. Haal diakhirkan ketika amilnya berupa lafadz yang disimpani makna fi’il tanpa hurufnya. Contoh : تِلْكَ هِنْدٌ مُجَرَّدَة
Adakalanya haal boleh didahulukan dan boleh diakhirkan ketika amil haal berupa fi’il mutashorif atau berupa sifat yang menyerupai fi’il mutashorif.[7]
  
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Haal ialah isim sifat yang menjadi ma’mul fudllah yang dibaca nashab dan menerangkan tingkahnya Shohibul Haal (pelaku Haal).
o   Rangkaian Tarkib Haal
§  ‘Amil
§  Shohibul Haal
§  Haal
o   Syarat Haal
·      berupa isim sifat
·      berupa ma’mul fudllah
·      dibaca nashab bila tidak berupa jumlah
·      menjelaskan keadaan atau tingkah
·      berupa isim nakiroh

o   Kondisi-kondisi yang Berkaiatan dengan Haal
ü  kondisi ‘amil
ü  kondisi Shohibul Haal
ü  kondisi Haal
o   Faedah Haal
§  Mu’assisah
§  Mu’akkidah
v  Mu’akkidah lil ‘Amil
v  Mu’akkidah lil Shohibil Haal
v  Mu’akkidah li madmunil jumlah qoblaha
o   Peletakan Haal, Amil dan Shohibul Haal
Kebanyakan yang sering berlaku keadaan Haal ialah diakhiran dari amil dan shokhibul haalnya tetapi dalam kondisi tertentu haal dapat mendahului amil dan shohibul haalnya.
Haal diakhirkan ketika amilnya berupa lafadz yang menyimpan makna fi’il tanpa hurufnya
Adakalanya haal boleh didahulukan dan boleh diakhirkan ketika amil haal berupa fi’il mutashorif atau berupa sifat yang menyerupai fi’il mutashorif.
B.     Saran
      Untuk para pembaca kami sebagai penulis menyarankan untuk mempelajari sesuatu itu pelajarilah dari bawah lalu pelajari yang lebih atas lagi begitu juga dengan ilmu nahwu pelajari dari bab paling dasar lalu pelajari yang lebih atas agar lebih mengerti dan memahami ilmu nahwu dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ibnu Aqil, Bahaud. 2000. Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, Jilid I, Bandung : Sinar Baru Algesindo
Arra’ni, Syamsuddin. 2002. Ilmu Nahwu Terjemah, Mutammimah Aj-Jurumiah, Surabaya : Al Hidayah
Huda, Nurul. 2011. Mudah Belajar Bahasa Arab, Jakarta : AMZAH
Husein, Syarifuddin. 1992. Minkhatul Malik, Semarang : Toha Putra
 


[1] Syarifuddin Husain, Minkhatul Malik, (Semarang : Toha Putra, 1992),  hal.105
[2] Bahaud Abdullah Ibnu ‘Aqil, Alfiyyah Syarah Ibnu ‘Aqil, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000), Jilid I, hal. 432
[3] Syarifuddin Husain, Minkhatul Malik, (Semarang : Toha Putra, 1992),  hal.105
[4] Ibid,hal 108
[5] Nurul Huda, Mudah Belajar Bahasa Arab, (Jakarta : AMZAH, 2011), hal.68
[6] Syekh Syamsuddin Muhammad Arra’ini, Ilmu Nahwu Terjemah Mutammimah Ajjurumiyah, (Surabaya : Al-hidayah,), hlm. 235
[7] Syarifuddin Husain, Minkhatul Malik, (Semarang : Toha Putra, 1992),  hal.105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar