BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Ilmu pendidikana islam adalah sebagai
ilmu pendatang baru dalam dunia pendidikan, dikatakan sebagai ilmu pendatang
baru kerena ilmu ini baru muncul di akhir abad ke 20, yaitu pada saat ummat
islam mulai memikirkan tentang perlunya meningkatkan dan mengembangkan mutu
pendidikan islam dengan berbagi aspeknya,dalam rangka mengimbangi kemajuan
pendidikanyang berada diluar islam.
Ilmu
pendidikan islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang
didasarkan pada nilai-nilai filosofis ajaran islam berdasarkan ajaran Al-Quran
dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Dengan redaksi yang agak singkat, ilmu pendidikan
islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan islam.
Di dalam pembahasan makalah ini nantinya
akan dibahas mengenai “ilmu pendidikan islam dengan pendekatan kebudayaan”,
kebudayaan ini adalah merupakan kegiatan masyarakat di mana kegiatan ini adalah
sudah menjadi kegiatan yang dianggap biasa di dalam suatu ruang lingkup
masyarakat itu sendiri.
Kebudayaan menurut Prof Parsudi Suparlan,
adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya. Sebagai
pedoman, tentunya sebagai ilmu kebudayaan mempunyai suatu yang harus berupa
pengetahuan dan keyakinan-keyakinan. Kebudayaan di dalam lingkup masyarakat
kerap digunakan sebagai instrumen untuk menginterprestasi lingkungan hidup.
Dalam artian masyarakat dapat menghasilkan tindakan-tindakan bermanfaat bagi
perkembangan sumber daya yang ada dalam sebuah lingkungan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Pendekatan-pendekatan
apa saja yang digunakan dalam memahami ilmu pendidikan islam dengan pendekatan
kebudayaan
2. Apa
hubungan kebudayaan dengan pendidikan
C. Tujuan
1. Pendekatan-pendekatan
yang digunakan dalam memahami ilmu pendidikan islam dengan pendekatan
kebudayaan
2. Hubungan
kebudayaan dengan pendidikan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendekatan
Pendekatan adalah sama dengan
metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu
masalah yang dikaji. Makna metodologi juga mencakup bebagai teknik yang di gunakan
untuk melakukan penelitian atau pengumpulan data. Dengan demikian, pendekatan
atau metodologi bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat
sesuatu permasalahan, malainkan juga mencakup pengertian metode-metode atau
teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan tersebut.
B.
Pengertian
Kebudayaan
menurut
prof. parsudi suparlan (1986), kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan
masyarakat yang diyakini kebenarannya. Sebagai pedoman, kebudayaan harus berupa
pengetahuan dan keyakinan-keyakinan. Kebudayaan kerap digunakan sebagai
instrument untuk menginterprestasi lingkungan hidup. Ia menghasilkan
tindakan-tindakan bermaanfaat bagi perkembangan sumberdaya yang ada dalam sebuah
lingkungan masyarakat.
Sebagai pedoman, kebudayaan berisikan
konsep-konsep, teori-teori, moral dan metode-metode atau petunjuk-petunjuk
kehidupan sehari-hari. Operasionalisasi dari pengertian kebudayaan tersebut
adalah melalui berbagai pranata yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks ini,
moral dan etika merupakan inti setiap kebudayaan. Ia biasanya dinamakan
nilai-nilai budaya. Sebab isinya adalah patokan-patokan penilaian secara budaya
mengenai
tindakan-tindakanwarga
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
a.
Konsep
Kebudayaan
Di
Indonesia, konsep kebudayaan dari Prof.koentjara ningrat sangat populer.
Menurutnya, kebudayaan diartikan sebagi wujud keseluruhan dari : (1) gagasan
(2) kelakuan (3) hasil kelakuan.
Menurut prof. parsudi suparlan ( 1986 ),
kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya.
Sebagai pedoman, harus berupa pengetahuan dan keyakinan-keyakinan. Kebudayaan
kerap digunakan sebagai instrument untuk menginterpretasi lingkungan hidup. Ia
menghasilkan tindakan-tindakan bermanfaat bagi pengembangan sumber daya yang
ada dalam sebuah lingkungan masyarakat.
Bagi suparlan, nilai budaya ini terdiri
atas dua kategori, yaitu :
1.
Yang mendasar
dan tidak terpengaruh oleh kehidupan sehari-hari dari pendukun kebudayaan
tersebut. Ia dinamakan pandangan hidup atau Worldview,
dan
2.
Yang memengaruhi
dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari dan para pendukun
kebudayaan yang di namkan etos ( ethos).
Di dalam memahanmi pengertian kebudayaan
ada pula yang menggunakan dari sisi pendekatan. Adapun pendekatan yang di
gunakan tersebut berdasarkan kelompok-kelompok, diantaranya.
Kelompok pertama, kelompok yang
menggunakan pendekatan deskriptif yang menekankan pada sejumlah isi yang
terkandung di dalamnya, kedalam defenisi isi termasuk defenisi kebudayaan yang
dikemukakan oleh taylor. Menurutnya, kebudayaan adalah keseluruhan kompleks
yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat,
dan berbagai kemempuan serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota
masyarakat.
Kelompok kedua, kelompok yang menggunakan
pendekatan historis yang menekankan pada warisan social dan tradisi. Kedalam
kelompok yang kedua ini, defenisi kebudayaan yang dikemukakan park dan burges
yang mengatakan, bahwa
kebudayaan
suatu masayarakat adalah sejumlah total dan organisasi dari warisan social yang
diterima sebagai sesuatu yang bermakna yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah
hidup suatu bangsa.
Kelompok ketiga, kelompok yang menggunakan
pendekatan normative yang antara lain menekankan
pada aspek peraturan, cara hidup, idea tau nilai-nilai perilaku. Termasuk
kedalam kelompok ketiga ini adalah defenisi kebudayaan dari linton yang
menegaskan, bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah suatu pandangan hidup dari
sekumpulan ide-ide dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka pelajari dan miliki
kemudian diwariskan dari suatu generasi ke generasi lain.
Kelompok keempat, kelompok yang
menggunakan pendekatan psikologi, yang antara lain menekankan pada aspek
penyesuaian diri dan proses belajar. Termasuk kedalam kelompok ini adalah
defenisi kebudayaan yang dibuat oleh kluckhhohn yang menegaskan, bahwa kebudayaan
terdiri dari semua kelangsungan proses belajar suatu masyarakat.
Kelompok kelima, kelompok yang
menggunakan pendekatan structural dengan menekankan pada aspek pola dan
organisasi kebudayaan. Termasuk dalam kelompok ini adalah defenisi kebudayaan
dari turney yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan
aktivitas sadar manusia yang berfungsi membentuk pola umum dan melangsungkan
penemuan-penemuan baik yang material maupun yang non material.
Kelompok keenam, kelompok yang
menggunakan pendekatan genetic yang memandang kebudayaan sebagai suatu produk,
alat-alat, benda-benda ataupun ide dan symbol. Termasuk kedalam kelompok ini
defenisi yang dibuat oleh bidney yang mengatakan, behwa kebudayaan dapat
dimengerti sebagai proses dinamis dan produk dari pengelolaan diri manusia dan
lingkungannya untuk mencapai tujuan akhir individu dan masyarakat.
Dengan adanya beberapa defenisi kebudayaan
sebagaimana tersebut di atas, dapat diduga karena berbagai beberapa alasan
sebagai berikut :
1.
Kebudayaan dapat
dilihat dari sisi semua aspek. Kebudayaan dapat dilihat segi agama, social,
politik, hukum, teologi, filsafat, dan lain sebagainya.
2.
Kebudayaan
terkait erat dengan kehidupan manusia, kerena kebudayaan pada hakikatnya
merupakan refleksi kegiatan manusia yang diteorisasikan atau dikonsepsiakan.
3.
Kebudayaan dapat
dilihat sebagai sebuah objek yang menarik, kerena setiap orang dapat
menafsirkannya sesuai dengan cara pandangannya masing-masing.
Berkenaan dengan berbagai defenisi
kebudayaan tersebut, musa asy’ari berpendapat bahwa kebudayaan adalah suatu
soal yang sangat luas. Akan tetapi, jika diamati secara seksama, ternyata
kebudayaan adalah pokok soal yang melekat pada manusia. Secara ontologis,
kebudayaan itu ada karena adanya manusia. Kebudayaan berpusat pada pikiran dan
hati manusia. Kebudayaan dapat pula disebut sebagai aktivitas pemikiran.
Dengan demikian, sungguh pun defenisi
kebudayaan itu amat beragam, namun hakikatnya ia adalah produk akal pikiran,
hati, jiwa, dan raga manusia. Selanjutnya, sungguhpun kebudayaan itu kebuatan
manusia, namun ketika kebudayaan itu lahir, ia memiliki jiwa dan karakter
sendiri. Ia tumbuh menjadi realitas tersendiri yang menjerat dan menentukan
corak kehidupan manusia. Manusia hidup dalam suatu kebudayaan dan
pertumbuhannya dibentuk oleh kebudayaan itu sendiri.
Dari paparan tersebut di atas, terlihat
bahwa kebudayaan lebih bersifat nilai-nilai, norma, aturan, hukum, ketetapan,
pola-pola hubungan yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, dan
selanjutnya membentuk sebagi pranata social atau blueprint yang digunakan manusia dalam merespons, menyikapi dan
memecahkan masalah yang dihadapinya. Kebudayaan membentuk semacam kultur yang
memengaruhi perilaku, pola piker ( mindset)
manusia. Dengan demikian, berbagai masalah yang dihadapi manusia selalu
dikembalikan kepada pola pikir budaya yang ada dalam dirinya.
Kebudayaan sebagai sebuah tata nilai,
aturan, norma, hukum, pola pikir, dan sebagainya itu merupakan adalah sebuah
konsep yang dihasilkan melalui proses
akumulasi,
taransformasi, dan pergumulan dari berbagai nilai yang berkumpul menjadi satu
dan membentuk sebuah kebudayaan.
Nilai-nilai yang tergabung dalam
kebudayaan tersebut berasal dari sumbangan yang diberikan oleh agama,
adat-istiadat, tradisi, dan norma-norma yang terdapat dalam masyarakat. Di
antara nilai-nilai yang paling berkontribusi tersebut yang paling besar
sumbangannya adalah nilai agama. Hal ini terjadi, karena agama telah menyatu dalam
sistem keyakinan manusia yang selanjutnya dimenifestasikan dalam tata nilai.
Selain itu, agama juga memiliki nilai yang amat kuat karena berasal dari
keyakinan terhadap tuhan dan ajarannya
sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci yang diturunkannya.
Namun demikian, terdapat perbedaan yang
esensial antara kebudayaan dan kitab suci. Kebudayaan berasal dari manusia,
sedangkan kitab suci berasal dari tuhan. Kitab suci bukanlah kebudayaan. Namun
demikian kebudayaan yang dipengaruhi oleh ajaran kitab suci tidak sama dengan
kebudayaan sekuler yang sepenuhnya berdasar pada hasil pemikiran manusia.
Kebudayaan yang dipengaruhi pleh kitab suci akan sejalan dengan ajaran agama,
dan karenanya saling terkait.
Kehidupan manusia, dalam suatu
masyarakat, tidaka dapat lepas dari pengaruh kebudayaan yang mengitarinya. Pola
pikir, ucapan, perbuatan, dan berbagai keputusan yang diambil oleh manusia
senantiasa dipengaruhi oleh pandangan budaya. Yaitu nilai-nilai, aturan, norma,
hukum, dan refrensi lainnya yang digunakan sebagai pranata, dan blueprint( cetak biru ) yang secara
selektif dan konsisten digunakan sebagai acuan dalam memecahkan berbagai
masalah yang dihadapinya.
Perbedaan
antara satu kelompok dan kelompok lain dalam menyikapi dan mempersepsi suatu
masalah disebabkan karena perbedaan budaya yang dimilkinya. Demikian pula
perbedaan dalam hal pengambilan keputusan, suasana lingkungan kerja, pola
hubungan antara manusia, etos kerja, pelayanan dan lain
Perubahan masyarakat dari yang bersifat
agraris, manjadi industrialis, dan menjadi masyarakat informasi, atau perubahan
dari masyarakat desa menjadi masyarakat kota
terjadi karena adanya budaya yang berbeda antara satu dan yang lainnya.
Budaya desa beriorentasi kebelakang, kurang menghargai prestasi individu,
bekerja tampa perencanaan, kurang memamfaatkan waktu dengan baik, hubungan yang
bersifat social, status jumlah kekayaan diukur oleh jumlah tanah, hewan ternak
atau lambang-lambang kesalehan, santai, mengendapkan perasaan, tidak terlibat
dalam pengambilan keputusan, tentram dan stabil, mulai bergeser dengan budaya
kota yang ditandai dengan hidup yang dijalani tergesa-gesa, hidup dianggap
sebagai hal yang penuh dengan persaingan, sikap dan tindakan pragmatis dalam
mengatasi masalah, hidup dengan mobilitas tinggi, dan hidup dijalani dengan
interaksi atau hubungan anonym alias tak terlalu saling mengenal dengan orang
lain.
Akibatnya keseluruhan hal-hal di atas
ialah hidup dalam budaya kota menjadi hidup yang tidak mengandung upaya
refleksi atau perenungan atau pencarian makna yang mendalam mengenai keberadan
manusia. Secara umum, dalam satu hari, orang dalam budaya kota harus mengambil
keputusan, mengalami keadaan baru, dan menjumpai orang baru yang lebih banyak
dibandingkan apa yang dialami orang desa
dalam setahun.
Hal ini membuat orang kota merasa optimis
dengan hidupnya, namun membuat harus mengejar sesuatu, bersaing dengan orang
lain, dan selalu merasa tidak memiliki cukup waktu.
Di
dalam pengambilan keputusan karena orang kota juga dipenuhi oleh info dari
berbagai media, maka orang kota cenderung mengambil keputusan yang cepat, singkat,
dapat dipergunakan dan diaplikasikan, tanpa memusingkan diri dengan penyebab
yang terlalu mendasar dan rumit serta solusi yang utuh dan berjangka panjang.
Selanjutnya, karena kota merupakan masyarakat yang cair atau berubah-ubah, orang
perlu merebut kesempatan baru, bila perlu dengan berpindah-pindah. Perpindahan
ini dilakukan secara social dan geografis. Artinya, orang kota yang
terburu-buru juga bergerak kian kemari dalam tempat kerja dan hidupnya, namun
secara kelas social juga mengubah posisinya, umumnya tentu mereka berupaya naik
ke kelas yang lebih tinggi.
Karena gejala di atas, orang kota juga
harus membatasi siapa yang menjadi “ relasinya”. Cara ia mengadakan hubungan
orang, terutama bersandar pada fungsi mereka. Hanya kepada sekelompok manusia,
hubungan mereka dikembangkan sampai pada taraf hubungan antarpribadi yang
mendalam. Dengan demikian, orang kota cendrung tidak ambil pusing dengan
hubungan pribadi orang lain dan cendrung tidak juga menyukai hubungan
antarpribadi yang terlalu mendalam, kecuali dengan sejumlah kecil manusia lain
yang dianggapnya memiliki fungsi yang bermanfaat bagi hidupnya.
Keseluruhannya menunjukkan bahwa orang
yang hidup dalam budaya kota menjadi manusia yang berlari, risau, lelah, dan
kurang kesempatan atau dukungan untuk merenung dengan mendalam. Bahkan,
hubungannya dengan sang pencipta
cendrung bersifat fungsional atau hanya emosional. Untuk itu, tidak mengherangkan
jika di kota-kota, justru kegiatan agama menjadi marak dan spektakuler,
terutama yang bersifat ritual dan simbolis atau tidak mendasar, melainkan hanya
sekedar untuk menyenagkan hati dan memberikan ketenangan sesaat.
C.
Hubungan
Kebudayaan Dengan Pendidikan
Perkembagan kebudayaan, sebagaimana
tersebut di atas, merupakan bagian dari persoalan yang harus diketahui dan diantisipasi serta
dijadikan salah satu bahan pertimbangan oleh para pengambil kebijakan,
perancang dan praktis pendidikan. Visi, misi, arah tujuan, kurikulum, proses
belajar mengajar, pendidik dan tenaga kependidikan, kualitas lulusan,
pengelolaan, sarana prasarana, keuangan, lingkungan, dan evaluasi pendidikan
dan yang dirancang dan dilaksanakan harus mempertimbangkan factor kebudayaan
sebagaiman tersebut di atas. Pendidikan yang berbasis pada kebudayaan ini dapat
dilihat pada uraian di bawah ini.
1.
Visi,
Misi, dan Tujuan Pendidikan
Visi pendidikan dengan pendekatan
kebudayaan dapat dirusan antara lain menjadikan pendidikan sebagai pranata yang
kuat dan berwibawa dalam memelihara, melestariakn, dan mengembangkan kebudayaan
Indonesia.
Sedangkan misi pendidikan yang berbasis
kebudayaan antara lain:
a.
Mengintegrasikan
nilai-nilai kebudayaan Indonesia ke dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
pengembangan pendidikan:
b.
Menjadikan
pendidikan sebagai wahana bagi pemasyarkatan nilai-nilai budaya kepada generasi
muda:
c.
Mengupayakan
terhindarnya peserta didik dari pengaruh budaya local yang negatif:
d.
Mendorong tumbuh
dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang mendorong lahirnya etos kerja yang
tinggi.
Adapun tujuan pendidikan yang berbasis
kebudayaan adalah melahirkan peserta didik yang memiliki karakter yang
merupakan keseluruhan dinamika rasional antarpribadi dengan berbagi macam
dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya agar pribadi itu semakin
dapat menghayati kebebasannya sehingga semakin dapat bertanggung jawab atas
pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam
hidup mereka. Secara singkat, tujuan pendidikan karakter adalah sebuah sebagai
bantuan social agar individu itu dapat tumbuh dalam menghayati kebebasannya
dalam hidup bersama dengan orang lain dalam dunia. Pendidikan karakter
bertujuan membentuk pribadi menjadi insan yang berkeutamaan.
2.
Layanan
dan Kemasaan Kendidikan
Layanan dan kemasaan pendidikan modern
dalam menghadapi dampak budaya kota sebagaimana tersebut di atas, misalnya adalah
dengan cara mengajak siswa, orang tua, dan sesama pendidik bersama-sama
mengadakan refleksi atau perenungan secara mendalam atau secara berkala.
Pendidik patut membuat hal ini menjadi hal yang dinikmati. Tantangan terbesar
tentunya adalah bagaimana menghadapi plihan-pilihan, pengajaran-pengajaran dan
pembelajaran-pembelajaran yang menjadi keniscayaan pada budaya kota mendapatkan
makna secara spiritual. Selai itu, tantangan pelayanan pendidiakan diperkotaan
adalah bagaimana menyiapkan para siswa untuk mampu manyadari, mamahami, dan
mengambil plihan-pilihan yang tersedia, dengan cara menyiapkan siswa yang
terbiasa mandiri mengenali pilihan yang ada serta memiliki acuan nilai yang
tepat untuk memilih dan mampu melakukan pilihan secara mandiri. Kemandirian ini
manjadi fitur yang harus dicapai oleh siswa-siswa sebelum mereka mamasuki masa
dewasa. Pertanyaan yang besar ialah, apakah pendidikan modern siap untuk
melayani mereka untuk mendapatkan fitur serupa itu? apakah kurikulum yang ada
dan suasana atau iklim pendidikan yang ada memungkinkan siswa bertumbuh menjadi
siswa yang mandiri dalam melakukan pilihannya? Semua pertanyaan tersebut harus
dijawab oleh dunia pendidikan.
3.
Muatan
Pendidikan
Kebudayaan Indonesia yang dicita-citakan
ialah satu kebudayaan yang tetap mencerminkan kepribadian Indonesia dan mampu
meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia. Selain itu, ia harus
tegar menatap tantangan kekinian serta mampu bersaing dengan kebudayaan luar,
bahkan dapat memberikan sumbangan bagi kebudayaan universal. Apa yang dimaksud
manusia dan juga masyarakat yang berkualitas ialah manusia yang bertaqwa, tidak bodoh, tidak miskin dan
tidak terbelakang serta memiliki semangat juang dan membangun hari esok yang
lebih baik, memiliki rasa solidaritas social yang tinggi. Salah satu tantangan
kekinian ialah modernisasi dan pendukungnya yang bercirikan: aktif, dinamis,
efisien, disiplin, rasional, terbuka tehadap penemuan-penemuan ilmiah,
memberiakn penghargaan kepada prestasi bukan kepada status dan beriorentasi ke
masa depan.
Alat pendukung peningkatan kualitas dan
kemampuan menghadapi tantangan-tantangan adalah pendidikan, termasuk pendidikan
agama. Permasalahan yang timbul ialah bagaimana memberikan pendidikan agama,
agar agama yang diamalkan itu mampu menggerakkannya untuk mengubah nasib guna
memperoleh kesejahteraan hidup di dunia.
Bahkan berusaha memperbaiki nasib adalah salah satu perintah agama juga.
Agama tidak menyuruh ummatnya untuk bersifat fatalistik karena segala sesuatu
sudah di tentukan oleh tuhan dalam arti harfiah, kerena itu segala perbuatan
hanya bisa datang dari langit. Etos kerja harus dibangkitkan dan untuk mencapai
tujuan itu, sikap percaya pada takhayul dan tradisi-tradisi mistik yang tidak rasional
mereka-rangkaikan dengan atau tanpa bantuan dukun harus dijauhi. Muatan
pendidikan agama harus mampu membangkitkan semangat untuk hidup dan tidak mudah
untuk putus asa. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan agama tidak hanya
ditekankan pada sisi kognitif kecuali terhadap orang yang melakukan studi
tentang agama, tetapi harus lebih banyak pada sisi afektifnya. Dengan demikian
masalah-masalah kebersihan, kesehatan, memelihara lingkungan hidup,
menggelorakan semangat solidaritas social tidak hanya sekedar diketahui bahwa
hal itu diperintahkan oleh agama, tetapi juga dihayati dan diamalkan.
Dengan kata lain, muatan pendidikan,
termasuk pendidikan agama harus mampu meletakkan landasan moral, etika, dan
spiritual yang kukuh bagi pembangunan Indonesia. Ringkasnya, pendidikan agama
harus menjadi pendorong lahirnya kebudayaan yang berkualitas, jangan sampai
agama dipahami secara sempit, yang melepaskan dunia dari keterkaitannya dengan
akhirat, dan menjadi penghambat ke arah itu.
Tidak hanya itu, muatan pendidikan juga
harus mampu memperkenalkan keragaman budaya yang ada di Indonesia, baik sebagai
pengetahuan, maupun sebagai alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi antara
satu dan lainnya serta membengkitkan rasa cinta tanah air. Muatan pendidikan
ini selanjutnya dituangkan dalam muatan kurikulum local (kurlok). Pendidikan
yang demikian itu kemudian mengarah kepada terlaksananya konsep pendidikan
multicultural, yang pada hakikatnya adalah sebuah apresiasi terhadap
keanekaragaman budaya yang berkembang di Indonesia, dan menggunakannya sebagai
alat untuk berkomunikasi anatara satu dan lainnya.
Muatan pendidikan yang berbasis pada
karakter juga erat kaitannya dengan fitrah atau potensi dasar manusia, yaitu
sebagai mahkluk yang menyukai kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Kesukaan pada
kebaikan akan melahirkan etiKA dan agama (budaya), kesukaan pada keindahan akan
melahirkan estetika dan seni, sedangkan kesukaan pada kebenaran akan melahirkan
pengetahuan.
Perpaduan antara etika (moral), estetiak
(seni), dan pengetahuan itulah yang akan membawa kemajuan suatu bangsa secara
seimbang. Hal ini sejalan dengan pendapat Protagora yang mengatakan bahwa
seluruh hidup manusia memerlukan keseimbangan dan harmoni.
Di
tengah-tengah kehidupan masyarakat yang banyak dipengaruhi budaya global yang
cendrung rasionalistik, pragmatis, hedonistic, dan sekularistik, tampak muatan
pendidikan yang memberikan keseimbangan pada sentuhan kejiawaan, seni, dan budi
pekerti kurang mendapatkan perhatian yang semestinya. Mata pelajaran tentang
kesenian, sastra, dan budi pekerti mulia, misalnya, tidak menjadi prioritas
utama. Materi pelajaran dan ujian sekolah dan ujian yang diselenggarakan oleh Negara misalnya, cedrung menitikberatkan
pada bidang ilmu-ilmu rasional dan empiristis. Akibatnya kepribadian siswa menjadi
tidak utuh, kurang memiliki kelembutan dan kehalusan jiwa. Pendidikan yang
dilaksanakan sekarang tampaknyasudah bergeser dari visi cultural kepada visi, rasionalistis,
pragmatis, hedonistik, dan materialistis. Keadaan ini terjadi sebagai akibat
dari adanya pengaruh penjajahan baru dalam bidang kebudayaan.
Penjajahan baru dalam bidang kebudayaan
yang berpengaruh ke dalam dunia pendidikan tersebut yang terjadi di zaman
sekarang ini, pernah terjadi pada zaman penjajahan belanda dan jepang. Belanda
dengan misi utamanya pada tiga G, yaitu gold, gospel, dan glorious telah
memengaruhi dunia pendidikan di Indonesia.dengan misi goldnya belanda berusaha
mengurus kekayaan alam Indonesia untuk kemakmuran negerinya. Sedangkan dengan
misi gospelnya, belanda berusaha mendukung ikut tersebar dan tersiarnya
kristenisasi di Indonesia dengan jalan memberikan bentuan kemudahan, dana, dan fasilitas lainnya untuk membangun
gereja dan kegiatan keagamaannya. Selanjutnya dengan misi gloriosnya, belanda
berusaha menjadikan Indonesia sebagai jajahannya.
Berdasarkan analisis sifat dan karakter
pendidikan belanda yang demikian itu, maka Ki Hajar Dewantoro memberikan
penguatan terhadap pendidikan yang berbasis kebudayaan. Hal ini terlihat dalam
Rencana pendidikan dan pengajaran dan kebudayaan pada zaman persiapan
kemerdekaan sebagaia berikut.
1.
Dengan
“undang-undang kewajiban belajar” atu peraturan lain jika keadaan di sesuatu
daerah memaksakannya, pemerintah berusaha memelihara pendidikan kecerdasn, akal
budi untuk segenap rakyat dengan cukup dan sebaik-baiknya.
2.
Dalam
garis-garis besar pendidikan ada prikemanusiaan, seperti terkandung dalam
segala pengajaran agama, maka pendidikan dan bahan pengajaran bersendi agama
dan kebudayaan bangsa, serta menuju ke arah “keselamatan” dan “kebahagiaan”
masyarakat.
3.
Kebudayaan
bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat
Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak
kebudayaan di daerah-daerh di seluruh Indonesia, terhitung sebagai budaya
bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya , dan
persatuan bangsa, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaa asing,
yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendri, serta
mempertinggi derajat kemanusian bangsa Indonesia.
4.
Untuk dapat
memerhatikan serta memlihara kepentingan khusus dengan sebaik-baiknya,
teristemewa yang berdasarkan agama dan atau kebudayaan, maka pihak rakyat
diberi kesempatan yang cukup luas untuk mendirikan sekolah-sokolah partikuler,
yang penyelenggaraannya sebegian atau sepenuhnya boleh dibiayai oleh
pemerintah.
5.
Tentang susunan
pelajaran pengetahuan dan kepandaian umum harus ditetapkan suatu daftar
pelajaran sedikitnya serta pula pendidikan budi pekerti, teristimewa pendidikan
semangat bekerja, kekeluargaan, cinta tanah air, serta keperjuruan.
Syarat-syarat itu diwajibkan untuk semua sekolah, baik kepunyaan negeri maupun
pertikuler.
6.
Tentang
pelajaran bahasa dan kebudayaan, maka dengan mangingat pasal 32 dan 36 UUD dan
pasal 3 dalam garis-garis besar adalah sebagai berikut:
a.
Bahasa Indonesia
diajarkan dengan cukup di segala sekolah di seluri Indonesia dan dipakai
sebagai “bahasa pengantar” mulai di sekolah-sekolah rakyat sampai di
sekolah-sekolah tinggi.
b.
Di daerah-daerah
yang mempunyai bahasa sendiri, diwajibkan mengadakan “bahasa persatuan: mulai
kelas 3 pada sekolah pertama, dengan jaminan akan cukup pandai anak-anak dalam
bahasa Indonesia bila mereka tamat belajar di sekolah-sekolah rakyat:
c.
Di
sekolah-sekolah menegah tinggi bagian budaya dipelajarkan bahasa arab dan
sangsekerta:
d.
Bahasa-bahasa
asing yang perlu untuk menuntut pelajaran penting, baik yang terdapat dalam
kitab-kitab yang berbahasa asing maupun yang harus didapat dengan melalui
sekolah-sekolah di luar negri, dipelajarkan di sekolah-sekolah menengah atau
menengah tinggi:
e.
Selalin itu, di
dalam sekolah-sekolah harus dipentingkan juga pendidikan rakyat dengan jalan
sebagai berikut: (1) latihan keprajuritan untuk pemuda-pemuda dan pemudi: (2)
pendidikan yang ditunjukkan kepada orang-orang desa: (3) pendidikan khusus
kepada kaum ibu: (4) memperbanyak bacaan dengan memajukan perpustakaan,
penerbitan surat-surat kabar dan majalah-majalah: (5) mendirikan balai bahasa
Indonesia; dan (6) mengirimkan pelajaran-pelajaran keseluruh dunia.
4.
Pendidikan
Multikultural
Pendidikan
dengan pendekatan kebudayaan mengharuskan adanya pendidikan yang multicultural,
yaitu pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespons perubahan
demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan. Selain itu ada pula yang berpendapat, bahwa pendidikan
multikltural dipersepsikan sebagai suatu jembatan untuk mencapai kehidupan
bersama dari ummat manusia di dalam era globalisasi yang penuh dengan tantangan-tantangan
baru. Pendidikan multikulturalisme berjalan bergandengan dengan proses
demokratisasi tersebut dipicu oleh adanya peningkatan terhadap pengakuan
terhadap hak asasi manusia yang tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan warna
kulit, agama, jenis kelamin, status social, pekerjaan, dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian terlihat tiga hal
uraian berikut. Pertama, pendidikan
multikultural muncul karena adanya kecendrungan yang kuat dari setiap warga
Negara untuk memperoleh pengakuan secara lebih adil dan demokratis dalam bidang
pendidikan, social, ekonomi, dan lain sebagainya, dengan titik membedakan latar
belakan agama, budaya, etnis, dan lain sebagainya. Kedua, pendidikan multikultural muncul sebagai akibat dorongan
masyarakat kepada pemerintah untuk menerapkan prinsi-prinsip kehidupan yang
lebih berbudaya dan beradap dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik,
social, budaya, dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip kehidupan yang lebih
berbudaya dan beradap itu antara lain meliputi penghargaan terhadap hak-hak
asasi manusia, keadilan, egaliter, manusiawi, jujur, amanah, toleransi dan
persaudaraan. Ketiga, pendidikan
multikultural muncul kerena adanya kecendrungan untuk mengakui pluralism
(keragaman) sebagai sebuah keniscayaan atau realitas yang bersifat alami dan
diterima dengan penuh kesadaran. Pendidikan multikultural menghendaki agar
setiap Negara yang memiliki keragaman penduduk harus diperlakukan secara adil
dan demokratis.
5.
Pendidikan
Berbasis Masyarakat
Pendidikan
berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai kegiatan pendidikan yang memberikan
keluasan kepada masyarkat untuk ikut serta memberikan peran dan partisipasinya
dalam kegiatan pendidikan. Berbagai kegiatan dan komponen pendidikan, mulai
dari perumusan visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar
mempertimbangkan
kebutuhan masyarakat dengan latar belakan budaya, agama, etnisitas, dan lain
sebgainya.
Pendidikan dengan berbasis masyarakat ini
diperlukan dengan pertimbangan :
Pertama, sebagai
reaksi terhadap penyelenggaraan pendidikan yang menjadikan masyarakat hanya
sebagai obyek yang harus mengikuti sepenuhnya keinginan sebuah lembaga
pendidikan. Melalui konsep pendidikan yang berbasis masyarkat ini, masyarkat
dilibatkan dan diperhatikan harapan dan kebutuhannya dalam merancang kegiatan
pendidikan.
Kedua, sebagai
sebuah upaya, agar program pendidikan yang dilaksanakan dapat sejalan denagn
perkembangan masyarakat sehingga lulusan pendidikan benar-benar dibutuhkan oleh
masyarkat.
Ketiga,sebagai sebuah upaya untuk memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan
sesuai dengan kemampuannya.
Dengan konsep pendidkan berbasis yang
masyarakat, dimungkinkan munculnya inisiatif, kreativitas, dan kemauan masyarakat
untuk melakukan kegiatan pendidikan dengan cara mendarmabaktikan tenaga,
pikiran, dan harta bendannya demi kepentingan pendidikan.
6.
Atmosfir
Akademik
Atmosfir akademik adalah satu faktor yang
sangat diperlukan bagi terciptanya suasana yang kondusif bagi kegiatan
belajar-mengajar. Badan akreditasi nasional perguruan tinggi (BAN-PT),
memasukkan atmosfir akademik sebagai salah satu komponen penilaian. Isi dari
atmosfir akademik atara lain suasana yang sengaja dibangun dan diciptakan oleh
sebuah lembaga pendidikan agar tercipta suasana pembelajaran yang kondusif. Isi
dari atmosfir akademik tersebut misalnya barkaitan dengan berbagai kegiatan
seperti diskusi, seminar, workshof, peltihan, penelitian, perlombaan, penulisan
karya ilmia, penyediaan perpustakaan dengan berbagai
programnya
yang menarik, pemberian bimbingan, bantuan dan lainnyaoleh dosen pembimbing
kepada para mahasiswa, berbagai kegiatan partikulum, penyediaan jaringan
internet untuk mendapatkan berbagai bahan yang diperlukan untuk kegiatan
belajar mengajar, kegiatan keagamaan dan lain sebagainya.
Dengan adanya berbagai kegiatan tersebut,
maka suasana kampus atau lembaga pendidikan terasa sebagai keadaan yang
memungkinkan para siswa atau mahasiswa untuk memiliki semangat untuk berprestasi.
Suasana tersebut selanjutnya menjadi semacam kebudayaan (culture) yang ada pada lembaga pendidikan tersebut dan
membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya. Budaya akademik tersebut
selanjutnya dituangkan dalam visi, misi, tujuan, dan program kegiatan pada
perguruan tinggi yang bersangkutan.
Visi, misi, tujuan, dan program tersebut
kemudian disosialisasikan kepada seluruh sivitas akademik, kemudian dipantau
pelaksanaannya, dengan menjadikan pemimpin sebagai penggerak utamanya.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Kita bisa mengambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
Dengan
menggunakan suatu pendekatan dalam hal untuk memahami ilmu pendidikan islam,
kita bisa mengambil beberapa hal, diantaranya:
a.
Dengan
menggunakan pendekatan kelompok deskriptif yang menekankan pada sejumlah isi
yang terkandung di dalamnya.kita bisa memahami bahwa kebudayaan dalam
dihubungannya dengan ilmu pendidikan islam, yang sesuai dengan pengertian
kebudayaan yang dikemukakan oleh taylor. Menurutnya, kebudayaan adalah
keseluruhan kompleks yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral,
adat istiadat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima manusia
sebagai anggota masyarakat.
b.
Dengan
menggunakan pendekatan kelompok historisyang menekankan pada warisan social
teradisi. Kita bisa memahami bahwa kebudayaan dalam hubungannya dengan ilmu
pendidikan islam,yang sesuai dengan pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh
Park dan Burgessyang mengatakan, bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah
sejumlah total dan organisasi dari warisan social yang diterima sebagai suatu
yang bermakna yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu bangsa.
c.
Dengan
menggunakan pendekatan kelompok normatif, yang menekankan pada aspek peraturancara
hidup, ide atau nilai-nilai dan perilaku. Kita bisa memahami bahwa kebudayaan
dalam hubungannya dengan ilmu pendidikan islam, yang sesuai dengan pengertian
kebudayaan yang dikemukakan olehLinton yang menegaskan, bahwa kebudayaan suatu
masyarakat adalah suatu pandangan hidup dari seekumpulan ide-ide dan
kebiasaan-kebiasaan yang mereka pelajari dan milki kemudian diwariskan dari
satu generasi ke generasi lain.
d.
Dengan
menggunakan pendekatan kelompok psikologi, yang menekankan pada aspek
penyesuaian diri dan proses belajar, yang sesuai dengan pendekatan kebudayaan
yang dikemukakan oleh Kluckhohn yang menegaskan, bahwa kebudayaan terdiri dari
semua kelangsungan proses belajar suatu masyarakat.
e.
Dengan
menggunakan pendekatan kelompok atruktural, dengan menekankan pada aspek pola
dan organisasi kebudayaan. Sesuai dengan pengertian kebudayaan dari Turney yang
mengatakan bahwa kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan aktivitas sadar
manusia yang berfungsi membentuk pola umum dan melangsungkan penemuan-penemuan
baik yang materian maupun yang non material.
f.
Dengan
menggunakan pendekatan kelompok genetik, yang memandang kebudayaan sebagai
suatu produk, alat-alat, benda-benda maupun ide-ide symbol, yang sesuai dengan
pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh Bidney yang mengatakan, bahwa
kebudayaan dapat dimengerti sebagai proses dinamis dan produk dari pengelolaan diri manusia dan lingkungannya untuk pencapaian tujuan akhir
individu dan masyarakat.
Dengan menggunakan pendekatan kebudayaan
pula, kita juga bisa memahami hubungan kebudayan dengan pendidikan, seperti :
1.
Visi, Misi, dan
Tujuan Pendidikan
2.
Layanan dan
Kemasan Pendidikan
3.
Muatan
Pendidikan
4.
Pendidikan
Multikultural
5.
Pendidikan
Berbasis Masyarakat
6.
Atmosfir
Pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Dr. abuddin nata, M.A. ilmu pendidikan islam dengan pendekatan
Multidisipliner,(PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta 2009)
Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed. metodologi penelitian agama, teori dan
praktik,
(PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar