Kamis, 04 Juni 2015

Ilmu Pendidikan Agama Islam Dengan Pendekatan Kebudayaan



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
      Ilmu pendidikana islam adalah sebagai ilmu pendatang baru dalam dunia pendidikan, dikatakan sebagai ilmu pendatang baru kerena ilmu ini baru muncul di akhir abad ke 20, yaitu pada saat ummat islam mulai memikirkan tentang perlunya meningkatkan dan mengembangkan mutu pendidikan islam dengan berbagi aspeknya,dalam rangka mengimbangi kemajuan pendidikanyang berada diluar islam.
Ilmu pendidikan islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang didasarkan pada nilai-nilai filosofis ajaran islam berdasarkan ajaran Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Dengan redaksi yang agak singkat, ilmu pendidikan islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan islam.
      Di dalam pembahasan makalah ini nantinya akan dibahas mengenai “ilmu pendidikan islam dengan pendekatan kebudayaan”, kebudayaan ini adalah merupakan kegiatan masyarakat di mana kegiatan ini adalah sudah menjadi kegiatan yang dianggap biasa di dalam suatu ruang lingkup masyarakat itu sendiri.
      Kebudayaan menurut Prof Parsudi Suparlan, adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya. Sebagai pedoman, tentunya sebagai ilmu kebudayaan mempunyai suatu yang harus berupa pengetahuan dan keyakinan-keyakinan. Kebudayaan di dalam lingkup masyarakat kerap digunakan sebagai instrumen untuk menginterprestasi lingkungan hidup. Dalam artian masyarakat dapat menghasilkan tindakan-tindakan bermanfaat bagi perkembangan sumber daya yang ada dalam sebuah lingkungan masyarakat.

B.     Rumusan Masalah

1.      Pendekatan-pendekatan apa saja yang digunakan dalam memahami ilmu pendidikan islam dengan pendekatan kebudayaan
2.      Apa hubungan kebudayaan dengan pendidikan

C.     Tujuan
1.      Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam memahami ilmu pendidikan islam dengan pendekatan kebudayaan
2.      Hubungan kebudayaan dengan pendidikan



BAB II                                                                                                      
PEMBAHASAN

A.                Pengertian Pendekatan
       Pendekatan adalah sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu masalah yang dikaji. Makna metodologi juga mencakup bebagai teknik yang di gunakan untuk melakukan penelitian atau pengumpulan data. Dengan demikian, pendekatan atau metodologi bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat sesuatu permasalahan, malainkan juga mencakup pengertian metode-metode atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan tersebut.

B.                 Pengertian Kebudayaan
menurut prof. parsudi suparlan (1986), kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya. Sebagai pedoman, kebudayaan harus berupa pengetahuan dan keyakinan-keyakinan. Kebudayaan kerap digunakan sebagai instrument untuk menginterprestasi lingkungan hidup. Ia menghasilkan tindakan-tindakan bermaanfaat bagi perkembangan sumberdaya yang ada dalam sebuah lingkungan masyarakat.
      Sebagai pedoman, kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori, moral dan metode-metode atau petunjuk-petunjuk kehidupan sehari-hari. Operasionalisasi dari pengertian kebudayaan tersebut adalah melalui berbagai pranata yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks ini, moral dan etika merupakan inti setiap kebudayaan. Ia biasanya dinamakan nilai-nilai budaya. Sebab isinya adalah patokan-patokan penilaian secara budaya mengenai
tindakan-tindakanwarga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.



a.                   Konsep Kebudayaan
Di Indonesia, konsep kebudayaan dari Prof.koentjara ningrat sangat populer. Menurutnya, kebudayaan diartikan sebagi wujud keseluruhan dari : (1) gagasan (2) kelakuan (3) hasil kelakuan.
      Menurut prof. parsudi suparlan ( 1986 ), kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya. Sebagai pedoman, harus berupa pengetahuan dan keyakinan-keyakinan. Kebudayaan kerap digunakan sebagai instrument untuk menginterpretasi lingkungan hidup. Ia menghasilkan tindakan-tindakan bermanfaat bagi pengembangan sumber daya yang ada dalam sebuah lingkungan masyarakat.
      Bagi suparlan, nilai budaya ini terdiri atas dua kategori, yaitu :
1.                  Yang mendasar dan tidak terpengaruh oleh kehidupan sehari-hari dari pendukun kebudayaan tersebut. Ia dinamakan pandangan hidup atau Worldview, dan
2.                  Yang memengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari dan para pendukun kebudayaan yang di namkan etos ( ethos).

      Di dalam memahanmi pengertian kebudayaan ada pula yang menggunakan dari sisi pendekatan. Adapun pendekatan yang di gunakan tersebut berdasarkan kelompok-kelompok, diantaranya.
      Kelompok pertama, kelompok yang menggunakan pendekatan deskriptif yang menekankan pada sejumlah isi yang terkandung di dalamnya, kedalam defenisi isi termasuk defenisi kebudayaan yang dikemukakan oleh taylor. Menurutnya, kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan berbagai kemempuan serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota masyarakat.
      Kelompok kedua, kelompok yang menggunakan pendekatan historis yang menekankan pada warisan social dan tradisi. Kedalam kelompok yang kedua ini, defenisi kebudayaan yang dikemukakan park dan burges yang mengatakan, bahwa
kebudayaan suatu masayarakat adalah sejumlah total dan organisasi dari warisan social yang diterima sebagai sesuatu yang bermakna yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu bangsa.
 Kelompok ketiga, kelompok yang menggunakan pendekatan  normative yang antara lain menekankan pada aspek peraturan, cara hidup, idea tau nilai-nilai perilaku. Termasuk kedalam kelompok ketiga ini adalah defenisi kebudayaan dari linton yang menegaskan, bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah suatu pandangan hidup dari sekumpulan ide-ide dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka pelajari dan miliki kemudian diwariskan dari suatu generasi ke generasi lain.
      Kelompok keempat, kelompok yang menggunakan pendekatan psikologi, yang antara lain menekankan pada aspek penyesuaian diri dan proses belajar. Termasuk kedalam kelompok ini adalah defenisi kebudayaan yang dibuat oleh kluckhhohn yang menegaskan, bahwa kebudayaan terdiri dari semua kelangsungan proses belajar suatu masyarakat.
      Kelompok kelima, kelompok yang menggunakan pendekatan structural dengan menekankan pada aspek pola dan organisasi kebudayaan. Termasuk dalam kelompok ini adalah defenisi kebudayaan dari turney yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan aktivitas sadar manusia yang berfungsi membentuk pola umum dan melangsungkan penemuan-penemuan baik yang material maupun yang non material.
      Kelompok keenam, kelompok yang menggunakan pendekatan genetic yang memandang kebudayaan sebagai suatu produk, alat-alat, benda-benda ataupun ide dan symbol. Termasuk kedalam kelompok ini defenisi yang dibuat oleh bidney yang mengatakan, behwa kebudayaan dapat dimengerti sebagai proses dinamis dan produk dari pengelolaan diri manusia dan lingkungannya untuk mencapai tujuan akhir individu dan masyarakat.
 Dengan adanya beberapa defenisi kebudayaan sebagaimana tersebut di atas, dapat diduga karena berbagai beberapa alasan sebagai berikut :
1.                  Kebudayaan dapat dilihat dari sisi semua aspek. Kebudayaan dapat dilihat segi agama, social, politik, hukum, teologi, filsafat, dan lain sebagainya.
2.                  Kebudayaan terkait erat dengan kehidupan manusia, kerena kebudayaan pada hakikatnya merupakan refleksi kegiatan manusia yang diteorisasikan atau dikonsepsiakan.
3.                  Kebudayaan dapat dilihat sebagai sebuah objek yang menarik, kerena setiap orang dapat menafsirkannya sesuai dengan cara pandangannya masing-masing.
      Berkenaan dengan berbagai defenisi kebudayaan tersebut, musa asy’ari berpendapat bahwa kebudayaan adalah suatu soal yang sangat luas. Akan tetapi, jika diamati secara seksama, ternyata kebudayaan adalah pokok soal yang melekat pada manusia. Secara ontologis, kebudayaan itu ada karena adanya manusia. Kebudayaan berpusat pada pikiran dan hati manusia. Kebudayaan dapat pula disebut sebagai aktivitas pemikiran.
      Dengan demikian, sungguh pun defenisi kebudayaan itu amat beragam, namun hakikatnya ia adalah produk akal pikiran, hati, jiwa, dan raga manusia. Selanjutnya, sungguhpun kebudayaan itu kebuatan manusia, namun ketika kebudayaan itu lahir, ia memiliki jiwa dan karakter sendiri. Ia tumbuh menjadi realitas tersendiri yang menjerat dan menentukan corak kehidupan manusia. Manusia hidup dalam suatu kebudayaan dan pertumbuhannya dibentuk oleh kebudayaan itu sendiri.
      Dari paparan tersebut di atas, terlihat bahwa kebudayaan lebih bersifat nilai-nilai, norma, aturan, hukum, ketetapan, pola-pola hubungan yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, dan selanjutnya membentuk sebagi pranata social atau blueprint yang digunakan manusia dalam merespons, menyikapi dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Kebudayaan membentuk semacam kultur yang memengaruhi perilaku, pola piker ( mindset) manusia. Dengan demikian, berbagai masalah yang dihadapi manusia selalu dikembalikan kepada pola pikir budaya yang ada dalam dirinya.
      Kebudayaan sebagai sebuah tata nilai, aturan, norma, hukum, pola pikir, dan sebagainya itu merupakan adalah sebuah konsep yang dihasilkan melalui proses
akumulasi, taransformasi, dan pergumulan dari berbagai nilai yang berkumpul menjadi satu dan membentuk sebuah kebudayaan.
      Nilai-nilai yang tergabung dalam kebudayaan tersebut berasal dari sumbangan yang diberikan oleh agama, adat-istiadat, tradisi, dan norma-norma yang terdapat dalam masyarakat. Di antara nilai-nilai yang paling berkontribusi tersebut yang paling besar sumbangannya adalah nilai agama. Hal ini terjadi, karena agama telah menyatu dalam sistem keyakinan manusia yang selanjutnya dimenifestasikan dalam tata nilai. Selain itu, agama juga memiliki nilai yang amat kuat karena berasal dari keyakinan  terhadap tuhan dan ajarannya sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci yang diturunkannya.
      Namun demikian, terdapat perbedaan yang esensial antara kebudayaan dan kitab suci. Kebudayaan berasal dari manusia, sedangkan kitab suci berasal dari tuhan. Kitab suci bukanlah kebudayaan. Namun demikian kebudayaan yang dipengaruhi oleh ajaran kitab suci tidak sama dengan kebudayaan sekuler yang sepenuhnya berdasar pada hasil pemikiran manusia. Kebudayaan yang dipengaruhi pleh kitab suci akan sejalan dengan ajaran agama, dan karenanya saling terkait.
      Kehidupan manusia, dalam suatu masyarakat, tidaka dapat lepas dari pengaruh kebudayaan yang mengitarinya. Pola pikir, ucapan, perbuatan, dan berbagai keputusan yang diambil oleh manusia senantiasa dipengaruhi oleh pandangan budaya. Yaitu nilai-nilai, aturan, norma, hukum, dan refrensi lainnya yang digunakan sebagai pranata, dan blueprint( cetak biru ) yang secara selektif dan konsisten digunakan sebagai acuan dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya.
Perbedaan antara satu kelompok dan kelompok lain dalam menyikapi dan mempersepsi suatu masalah disebabkan karena perbedaan budaya yang dimilkinya. Demikian pula perbedaan dalam hal pengambilan keputusan, suasana lingkungan kerja, pola hubungan antara manusia, etos kerja, pelayanan dan lain
      Perubahan masyarakat dari yang bersifat agraris, manjadi industrialis, dan menjadi masyarakat informasi, atau perubahan dari masyarakat desa menjadi masyarakat kota  terjadi karena adanya budaya yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Budaya desa beriorentasi kebelakang, kurang menghargai prestasi individu, bekerja tampa perencanaan, kurang memamfaatkan waktu dengan baik, hubungan yang bersifat social, status jumlah kekayaan diukur oleh jumlah tanah, hewan ternak atau lambang-lambang kesalehan, santai, mengendapkan perasaan, tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, tentram dan stabil, mulai bergeser dengan budaya kota yang ditandai dengan hidup yang dijalani tergesa-gesa, hidup dianggap sebagai hal yang penuh dengan persaingan, sikap dan tindakan pragmatis dalam mengatasi masalah, hidup dengan mobilitas tinggi, dan hidup dijalani dengan interaksi atau hubungan anonym alias tak terlalu saling mengenal dengan orang lain.
      Akibatnya keseluruhan hal-hal di atas ialah hidup dalam budaya kota menjadi hidup yang tidak mengandung upaya refleksi atau perenungan atau pencarian makna yang mendalam mengenai keberadan manusia. Secara umum, dalam satu hari, orang dalam budaya kota harus mengambil keputusan, mengalami keadaan baru, dan menjumpai orang baru yang lebih banyak dibandingkan  apa yang dialami orang desa dalam setahun.
      Hal ini membuat orang kota merasa optimis dengan hidupnya, namun membuat harus mengejar sesuatu, bersaing dengan orang lain, dan selalu merasa tidak memiliki cukup waktu.
Di dalam pengambilan keputusan karena orang kota juga dipenuhi oleh info dari berbagai media, maka orang kota cenderung mengambil keputusan yang cepat, singkat, dapat dipergunakan dan diaplikasikan, tanpa memusingkan diri dengan penyebab yang terlalu mendasar dan rumit serta solusi yang utuh dan berjangka panjang. Selanjutnya, karena kota merupakan masyarakat yang cair atau berubah-ubah, orang perlu merebut kesempatan baru, bila perlu dengan berpindah-pindah. Perpindahan ini dilakukan secara social dan geografis. Artinya, orang kota yang terburu-buru juga bergerak kian kemari dalam tempat kerja dan hidupnya, namun secara kelas social juga mengubah posisinya, umumnya tentu mereka berupaya naik ke kelas yang lebih tinggi.
      Karena gejala di atas, orang kota juga harus membatasi siapa yang menjadi “ relasinya”. Cara ia mengadakan hubungan orang, terutama bersandar pada fungsi mereka. Hanya kepada sekelompok manusia, hubungan mereka dikembangkan sampai pada taraf hubungan antarpribadi yang mendalam. Dengan demikian, orang kota cendrung tidak ambil pusing dengan hubungan pribadi orang lain dan cendrung tidak juga menyukai hubungan antarpribadi yang terlalu mendalam, kecuali dengan sejumlah kecil manusia lain yang dianggapnya memiliki fungsi yang bermanfaat bagi hidupnya.
      Keseluruhannya menunjukkan bahwa orang yang hidup dalam budaya kota menjadi manusia yang berlari, risau, lelah, dan kurang kesempatan atau dukungan untuk merenung dengan mendalam. Bahkan, hubungannya dengan sang pencipta  cendrung bersifat fungsional atau hanya emosional. Untuk itu, tidak mengherangkan jika di kota-kota, justru kegiatan agama menjadi marak dan spektakuler, terutama yang bersifat ritual dan simbolis atau tidak mendasar, melainkan hanya sekedar untuk menyenagkan hati dan memberikan ketenangan sesaat.

C.                Hubungan Kebudayaan Dengan Pendidikan
      Perkembagan kebudayaan, sebagaimana tersebut di atas, merupakan bagian dari persoalan  yang harus diketahui dan diantisipasi serta dijadikan salah satu bahan pertimbangan oleh para pengambil kebijakan, perancang dan praktis pendidikan. Visi, misi, arah tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik dan tenaga kependidikan, kualitas lulusan, pengelolaan, sarana prasarana, keuangan, lingkungan, dan evaluasi pendidikan dan yang dirancang dan dilaksanakan harus mempertimbangkan factor kebudayaan sebagaiman tersebut di atas. Pendidikan yang berbasis pada kebudayaan ini dapat dilihat pada uraian di bawah ini.

1.                  Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan
      Visi pendidikan dengan pendekatan kebudayaan dapat dirusan antara lain menjadikan pendidikan sebagai pranata yang kuat dan berwibawa dalam memelihara, melestariakn, dan mengembangkan kebudayaan Indonesia.
      Sedangkan misi pendidikan yang berbasis kebudayaan antara lain:
a.                   Mengintegrasikan nilai-nilai kebudayaan Indonesia ke dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan pendidikan:
b.                  Menjadikan pendidikan sebagai wahana bagi pemasyarkatan nilai-nilai budaya kepada generasi muda:
c.                   Mengupayakan terhindarnya peserta didik dari pengaruh budaya local yang negatif:
d.                  Mendorong tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang mendorong lahirnya etos kerja yang tinggi.
      Adapun tujuan pendidikan yang berbasis kebudayaan adalah melahirkan peserta didik yang memiliki karakter yang merupakan keseluruhan dinamika rasional antarpribadi dengan berbagi macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya sehingga semakin dapat bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. Secara singkat, tujuan pendidikan karakter adalah sebuah sebagai bantuan social agar individu itu dapat tumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain dalam dunia. Pendidikan karakter bertujuan membentuk pribadi menjadi insan yang berkeutamaan.

2.                  Layanan dan Kemasaan Kendidikan
      Layanan dan kemasaan pendidikan modern dalam menghadapi dampak budaya kota sebagaimana tersebut di atas, misalnya adalah dengan cara mengajak siswa, orang tua, dan sesama pendidik bersama-sama mengadakan refleksi atau perenungan secara mendalam atau secara berkala. Pendidik patut membuat hal ini menjadi hal yang dinikmati. Tantangan terbesar tentunya adalah bagaimana menghadapi plihan-pilihan, pengajaran-pengajaran dan pembelajaran-pembelajaran yang menjadi keniscayaan pada budaya kota mendapatkan makna secara spiritual. Selai itu, tantangan pelayanan pendidiakan diperkotaan adalah bagaimana menyiapkan para siswa untuk mampu manyadari, mamahami, dan mengambil plihan-pilihan yang tersedia, dengan cara menyiapkan siswa yang terbiasa mandiri mengenali pilihan yang ada serta memiliki acuan nilai yang tepat untuk memilih dan mampu melakukan pilihan secara mandiri. Kemandirian ini manjadi fitur yang harus dicapai oleh siswa-siswa sebelum mereka mamasuki masa dewasa. Pertanyaan yang besar ialah, apakah pendidikan modern siap untuk melayani mereka untuk mendapatkan fitur serupa itu? apakah kurikulum yang ada dan suasana atau iklim pendidikan yang ada memungkinkan siswa bertumbuh menjadi siswa yang mandiri dalam melakukan pilihannya? Semua pertanyaan tersebut harus dijawab oleh dunia pendidikan.

3.                  Muatan Pendidikan
      Kebudayaan Indonesia yang dicita-citakan ialah satu kebudayaan yang tetap mencerminkan kepribadian Indonesia dan mampu meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia. Selain itu, ia harus tegar menatap tantangan kekinian serta mampu bersaing dengan kebudayaan luar, bahkan dapat memberikan sumbangan bagi kebudayaan universal. Apa yang dimaksud manusia dan juga masyarakat yang berkualitas ialah manusia  yang bertaqwa, tidak bodoh, tidak miskin dan tidak terbelakang serta memiliki semangat juang dan membangun hari esok yang lebih baik, memiliki rasa solidaritas social yang tinggi. Salah satu tantangan kekinian ialah modernisasi dan pendukungnya yang bercirikan: aktif, dinamis, efisien, disiplin, rasional, terbuka tehadap penemuan-penemuan ilmiah, memberiakn penghargaan kepada prestasi bukan kepada status dan beriorentasi ke masa depan.
      Alat pendukung peningkatan kualitas dan kemampuan menghadapi tantangan-tantangan adalah pendidikan, termasuk pendidikan agama. Permasalahan yang timbul ialah bagaimana memberikan pendidikan agama, agar agama yang diamalkan itu mampu menggerakkannya untuk mengubah nasib guna memperoleh kesejahteraan hidup di dunia.  Bahkan berusaha memperbaiki nasib adalah salah satu perintah agama juga. Agama tidak menyuruh ummatnya untuk bersifat fatalistik karena segala sesuatu sudah di tentukan oleh tuhan dalam arti harfiah, kerena itu segala perbuatan hanya bisa datang dari langit. Etos kerja harus dibangkitkan dan untuk mencapai tujuan itu, sikap percaya pada takhayul dan tradisi-tradisi mistik yang tidak rasional mereka-rangkaikan dengan atau tanpa bantuan dukun harus dijauhi. Muatan pendidikan agama harus mampu membangkitkan semangat untuk hidup dan tidak mudah untuk putus asa. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan agama tidak hanya ditekankan pada sisi kognitif kecuali terhadap orang yang melakukan studi tentang agama, tetapi harus lebih banyak pada sisi afektifnya. Dengan demikian masalah-masalah kebersihan, kesehatan, memelihara lingkungan hidup, menggelorakan semangat solidaritas social tidak hanya sekedar diketahui bahwa hal itu diperintahkan oleh agama, tetapi juga dihayati dan diamalkan.
     Dengan kata lain, muatan pendidikan, termasuk pendidikan agama harus mampu meletakkan landasan moral, etika, dan spiritual yang kukuh bagi pembangunan Indonesia. Ringkasnya, pendidikan agama harus menjadi pendorong lahirnya kebudayaan yang berkualitas, jangan sampai agama dipahami secara sempit, yang melepaskan dunia dari keterkaitannya dengan akhirat, dan menjadi penghambat ke arah itu.
      Tidak hanya itu, muatan pendidikan juga harus mampu memperkenalkan keragaman budaya yang ada di Indonesia, baik sebagai pengetahuan, maupun sebagai alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi antara satu dan lainnya serta membengkitkan rasa cinta tanah air. Muatan pendidikan ini selanjutnya dituangkan dalam muatan kurikulum local (kurlok). Pendidikan yang demikian itu kemudian mengarah kepada terlaksananya konsep pendidikan multicultural, yang pada hakikatnya adalah sebuah apresiasi terhadap keanekaragaman budaya yang berkembang di Indonesia, dan menggunakannya sebagai alat untuk berkomunikasi anatara satu dan lainnya.
      Muatan pendidikan yang berbasis pada karakter juga erat kaitannya dengan fitrah atau potensi dasar manusia, yaitu sebagai mahkluk yang menyukai kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Kesukaan pada kebaikan akan melahirkan etiKA dan agama (budaya), kesukaan pada keindahan akan melahirkan estetika dan seni, sedangkan kesukaan pada kebenaran akan melahirkan pengetahuan.
      Perpaduan antara etika (moral), estetiak (seni), dan pengetahuan itulah yang akan membawa kemajuan suatu bangsa secara seimbang. Hal ini sejalan dengan pendapat Protagora yang mengatakan bahwa seluruh hidup manusia memerlukan keseimbangan dan harmoni.
Di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang banyak dipengaruhi budaya global yang cendrung rasionalistik, pragmatis, hedonistic, dan sekularistik, tampak muatan pendidikan yang memberikan keseimbangan pada sentuhan kejiawaan, seni, dan budi pekerti kurang mendapatkan perhatian yang semestinya. Mata pelajaran tentang kesenian, sastra, dan budi pekerti mulia, misalnya, tidak menjadi prioritas utama. Materi pelajaran dan ujian sekolah dan ujian yang diselenggarakan  oleh Negara misalnya, cedrung menitikberatkan pada bidang ilmu-ilmu rasional dan empiristis. Akibatnya kepribadian siswa menjadi tidak utuh, kurang memiliki kelembutan dan kehalusan jiwa. Pendidikan yang dilaksanakan sekarang tampaknyasudah bergeser dari visi cultural kepada visi, rasionalistis, pragmatis, hedonistik, dan materialistis. Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari adanya pengaruh penjajahan baru dalam bidang kebudayaan.
      Penjajahan baru dalam bidang kebudayaan yang berpengaruh ke dalam dunia pendidikan tersebut yang terjadi di zaman sekarang ini, pernah terjadi pada zaman penjajahan belanda dan jepang. Belanda dengan misi utamanya pada tiga G, yaitu gold, gospel, dan glorious telah memengaruhi dunia pendidikan di Indonesia.dengan misi goldnya belanda berusaha mengurus kekayaan alam Indonesia untuk kemakmuran negerinya. Sedangkan dengan misi gospelnya, belanda berusaha mendukung ikut tersebar dan tersiarnya kristenisasi di Indonesia dengan jalan memberikan bentuan kemudahan,  dana, dan fasilitas lainnya untuk membangun gereja dan kegiatan keagamaannya. Selanjutnya dengan misi gloriosnya, belanda berusaha menjadikan Indonesia sebagai jajahannya.
      Berdasarkan analisis sifat dan karakter pendidikan belanda yang demikian itu, maka Ki Hajar Dewantoro memberikan penguatan terhadap pendidikan yang berbasis kebudayaan. Hal ini terlihat dalam Rencana pendidikan dan pengajaran dan kebudayaan pada zaman persiapan kemerdekaan sebagaia berikut.
1.                  Dengan “undang-undang kewajiban belajar” atu peraturan lain jika keadaan di sesuatu daerah memaksakannya, pemerintah berusaha memelihara pendidikan kecerdasn, akal budi untuk segenap rakyat dengan cukup dan sebaik-baiknya.
2.                  Dalam garis-garis besar pendidikan ada prikemanusiaan, seperti terkandung dalam segala pengajaran agama, maka pendidikan dan bahan pengajaran bersendi agama dan kebudayaan bangsa, serta menuju ke arah “keselamatan” dan “kebahagiaan” masyarakat.
3.                  Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak kebudayaan di daerah-daerh di seluruh Indonesia, terhitung sebagai budaya bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya , dan persatuan bangsa, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaa asing, yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendri, serta mempertinggi derajat kemanusian bangsa Indonesia.
4.                  Untuk dapat memerhatikan serta memlihara kepentingan khusus dengan sebaik-baiknya, teristemewa yang berdasarkan agama dan atau kebudayaan, maka pihak rakyat diberi kesempatan yang cukup luas untuk mendirikan sekolah-sokolah partikuler, yang penyelenggaraannya sebegian atau sepenuhnya boleh dibiayai oleh pemerintah.
5.                  Tentang susunan pelajaran pengetahuan dan kepandaian umum harus ditetapkan suatu daftar pelajaran sedikitnya serta pula pendidikan budi pekerti, teristimewa pendidikan semangat bekerja, kekeluargaan, cinta tanah air, serta keperjuruan. Syarat-syarat itu diwajibkan untuk semua sekolah, baik kepunyaan negeri maupun pertikuler.
6.                  Tentang pelajaran bahasa dan kebudayaan, maka dengan mangingat pasal 32 dan 36 UUD dan pasal 3 dalam garis-garis besar adalah sebagai berikut:
a.                   Bahasa Indonesia diajarkan dengan cukup di segala sekolah di seluri Indonesia dan dipakai sebagai “bahasa pengantar” mulai di sekolah-sekolah rakyat sampai di sekolah-sekolah tinggi.
b.                  Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, diwajibkan mengadakan “bahasa persatuan: mulai kelas 3 pada sekolah pertama, dengan jaminan akan cukup pandai anak-anak dalam bahasa Indonesia bila mereka tamat belajar di sekolah-sekolah rakyat:
c.                   Di sekolah-sekolah menegah tinggi bagian budaya dipelajarkan bahasa arab dan sangsekerta:
d.                  Bahasa-bahasa asing yang perlu untuk menuntut pelajaran penting, baik yang terdapat dalam kitab-kitab yang berbahasa asing maupun yang harus didapat dengan melalui sekolah-sekolah di luar negri, dipelajarkan di sekolah-sekolah menengah atau menengah tinggi:
e.                   Selalin itu, di dalam sekolah-sekolah harus dipentingkan juga pendidikan rakyat dengan jalan sebagai berikut: (1) latihan keprajuritan untuk pemuda-pemuda dan pemudi: (2) pendidikan yang ditunjukkan kepada orang-orang desa: (3) pendidikan khusus kepada kaum ibu: (4) memperbanyak bacaan dengan memajukan perpustakaan, penerbitan surat-surat kabar dan majalah-majalah: (5) mendirikan balai bahasa Indonesia; dan (6) mengirimkan pelajaran-pelajaran keseluruh dunia.
4.                  Pendidikan Multikultural
Pendidikan dengan pendekatan kebudayaan mengharuskan adanya pendidikan yang multicultural, yaitu pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespons perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Selain itu ada pula yang berpendapat, bahwa pendidikan multikltural dipersepsikan sebagai suatu jembatan untuk mencapai kehidupan bersama dari ummat manusia di dalam era globalisasi yang penuh dengan tantangan-tantangan baru. Pendidikan multikulturalisme berjalan bergandengan dengan proses demokratisasi tersebut dipicu oleh adanya peningkatan terhadap pengakuan terhadap hak asasi manusia yang tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, status social, pekerjaan, dan lain sebagainya.
      Berdasarkan uraian terlihat tiga hal uraian berikut. Pertama, pendidikan multikultural muncul karena adanya kecendrungan yang kuat dari setiap warga Negara untuk memperoleh pengakuan secara lebih adil dan demokratis dalam bidang pendidikan, social, ekonomi, dan lain sebagainya, dengan titik membedakan latar belakan agama, budaya, etnis, dan lain sebagainya. Kedua, pendidikan multikultural muncul sebagai akibat dorongan masyarakat kepada pemerintah untuk menerapkan prinsi-prinsip kehidupan yang lebih berbudaya dan beradap dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, social, budaya, dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip kehidupan yang lebih berbudaya dan beradap itu antara lain meliputi penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, keadilan, egaliter, manusiawi, jujur, amanah, toleransi dan persaudaraan. Ketiga, pendidikan multikultural muncul kerena adanya kecendrungan untuk mengakui pluralism (keragaman) sebagai sebuah keniscayaan atau realitas yang bersifat alami dan diterima dengan penuh kesadaran. Pendidikan multikultural menghendaki agar setiap Negara yang memiliki keragaman penduduk harus diperlakukan secara adil dan demokratis.

5.                  Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai kegiatan pendidikan yang memberikan keluasan kepada masyarkat untuk ikut serta memberikan peran dan partisipasinya dalam kegiatan pendidikan. Berbagai kegiatan dan komponen pendidikan, mulai dari perumusan visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar 
mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dengan latar belakan budaya, agama, etnisitas, dan lain sebgainya.
      Pendidikan dengan berbasis masyarakat ini diperlukan dengan pertimbangan :
Pertama, sebagai reaksi terhadap penyelenggaraan pendidikan yang menjadikan masyarakat hanya sebagai obyek yang harus mengikuti sepenuhnya keinginan sebuah lembaga pendidikan. Melalui konsep pendidikan yang berbasis masyarkat ini, masyarkat dilibatkan dan diperhatikan harapan dan kebutuhannya dalam merancang kegiatan pendidikan.
Kedua, sebagai sebuah upaya, agar program pendidikan yang dilaksanakan dapat sejalan denagn perkembangan masyarakat sehingga lulusan pendidikan benar-benar dibutuhkan oleh masyarkat.
    Ketiga,sebagai sebuah upaya untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya.
      Dengan konsep pendidkan berbasis yang masyarakat, dimungkinkan munculnya inisiatif, kreativitas, dan kemauan masyarakat untuk melakukan kegiatan pendidikan dengan cara mendarmabaktikan tenaga, pikiran, dan harta bendannya demi kepentingan pendidikan.



6.                  Atmosfir Akademik
      Atmosfir akademik adalah satu faktor yang sangat diperlukan bagi terciptanya suasana yang kondusif bagi kegiatan belajar-mengajar. Badan akreditasi nasional perguruan tinggi (BAN-PT), memasukkan atmosfir akademik sebagai salah satu komponen penilaian. Isi dari atmosfir akademik atara lain suasana yang sengaja dibangun dan diciptakan oleh sebuah lembaga pendidikan agar tercipta suasana pembelajaran yang kondusif. Isi dari atmosfir akademik tersebut misalnya barkaitan dengan berbagai kegiatan seperti diskusi, seminar, workshof, peltihan, penelitian, perlombaan, penulisan karya ilmia, penyediaan perpustakaan dengan berbagai
programnya yang menarik, pemberian bimbingan, bantuan dan lainnyaoleh dosen pembimbing kepada para mahasiswa, berbagai kegiatan partikulum, penyediaan jaringan internet untuk mendapatkan berbagai bahan yang diperlukan untuk kegiatan belajar mengajar, kegiatan keagamaan dan lain sebagainya.
      Dengan adanya berbagai kegiatan tersebut, maka suasana kampus atau lembaga pendidikan terasa sebagai keadaan yang memungkinkan para siswa atau mahasiswa untuk memiliki semangat untuk berprestasi. Suasana tersebut selanjutnya menjadi semacam kebudayaan (culture) yang ada pada lembaga pendidikan tersebut dan membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya. Budaya akademik tersebut selanjutnya dituangkan dalam visi, misi, tujuan, dan program kegiatan pada perguruan tinggi yang bersangkutan.
      Visi, misi, tujuan, dan program tersebut kemudian disosialisasikan kepada seluruh sivitas akademik, kemudian dipantau pelaksanaannya, dengan menjadikan pemimpin sebagai penggerak utamanya.

BAB III                                                                                                                     PENUTUP
Kesimpulan
      Kita bisa mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Dengan menggunakan suatu pendekatan dalam hal untuk memahami ilmu pendidikan islam, kita bisa mengambil beberapa hal, diantaranya:
a.                   Dengan menggunakan pendekatan kelompok deskriptif yang menekankan pada sejumlah isi yang terkandung di dalamnya.kita bisa memahami bahwa kebudayaan dalam dihubungannya dengan ilmu pendidikan islam, yang sesuai dengan pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh taylor. Menurutnya, kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istiadat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota masyarakat.
b.                  Dengan menggunakan pendekatan kelompok historisyang menekankan pada warisan social teradisi. Kita bisa memahami bahwa kebudayaan dalam hubungannya dengan ilmu pendidikan islam,yang sesuai dengan pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh Park dan Burgessyang mengatakan, bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah sejumlah total dan organisasi dari warisan social yang diterima sebagai suatu yang bermakna yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu bangsa.
c.                   Dengan menggunakan pendekatan kelompok normatif, yang menekankan pada aspek peraturancara hidup, ide atau nilai-nilai dan perilaku. Kita bisa memahami bahwa kebudayaan dalam hubungannya dengan ilmu pendidikan islam, yang sesuai dengan pengertian kebudayaan yang dikemukakan olehLinton yang menegaskan, bahwa kebudayaan suatu masyarakat adalah suatu pandangan hidup dari seekumpulan ide-ide dan kebiasaan-kebiasaan yang mereka pelajari dan milki kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi lain.
d.                  Dengan menggunakan pendekatan kelompok psikologi, yang menekankan pada aspek penyesuaian diri dan proses belajar, yang sesuai dengan pendekatan kebudayaan yang dikemukakan oleh Kluckhohn yang menegaskan, bahwa kebudayaan terdiri dari semua kelangsungan proses belajar suatu masyarakat.
e.                   Dengan menggunakan pendekatan kelompok atruktural, dengan menekankan pada aspek pola dan organisasi kebudayaan. Sesuai dengan pengertian kebudayaan dari Turney yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan aktivitas sadar manusia yang berfungsi membentuk pola umum dan melangsungkan penemuan-penemuan baik yang materian maupun yang non material.
f.                   Dengan menggunakan pendekatan kelompok genetik, yang memandang kebudayaan sebagai suatu produk, alat-alat, benda-benda maupun ide-ide symbol, yang sesuai dengan pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh Bidney yang mengatakan, bahwa kebudayaan dapat dimengerti sebagai proses dinamis dan produk dari pengelolaan diri manusia dan lingkungannya untuk pencapaian tujuan akhir individu dan masyarakat.
      Dengan menggunakan pendekatan kebudayaan pula, kita juga bisa memahami hubungan kebudayan dengan pendidikan, seperti :
1.                  Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan
2.                  Layanan dan Kemasan Pendidikan
3.                  Muatan Pendidikan
4.                  Pendidikan Multikultural
5.                  Pendidikan Berbasis Masyarakat
6.                  Atmosfir Pendidikan.
                                             
                                              DAFTAR PUSTAKA


Prof. Dr. abuddin nata, M.A. ilmu pendidikan islam dengan pendekatan
 Multidisipliner,(PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2009)
Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed. metodologi penelitian agama, teori dan praktik,
          (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar