Rabu, 03 Juni 2015

Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam



Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.karena atas segala limpahan taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat meyelesaikan makalah yang berjudul “Sunnah Sebagai Dasar Hukum Islam” dalam bentuk sederhana. Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagai suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari.
Penyusun  meyadari segala kekurangan dan keterbatasan kemampuan yang penyusun miliki dalam peyelesaian makalah ini. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kebaikan dan kesempurnaan makalah ini sehinggah dapat bermamfaat bagi kita semua.
Dengan segalah kerendahan hati penyusun haturkan ucapan terimah kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1.      Bapak Hannani, M. Ag., selaku dosen pengajar mata kuliah Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh yang dengan ikhlas membagi pengetahuan dan bimbingannya kepada kami
2.      Kepala Perpustakaan dan pegawai yang telah menyiapkan dan melayani mahasiswa khususnya dalam menyediakan buku referensi bagi kami
Akhirnya kepada Allah Swt. Kami serahkan segalanya, semogah sumbangsinya di berikan pahala di sisi-Nya. Amin
                                                                              Parepare, 11 Juni 2012
                                                                                   
Penulis


ii
 

DAFTAR ISI
Sampul ...............................................................................................
i
Kata Pengantar ....................................................................................
ii
Daftar Isi .............................................................................................
iii


BAB I Pendahuluan

A.    Latar Belakang ..........................................................................
1
B.     Rumusan Masalah .....................................................................
3


BAB II Pembahasan

A.    Pengertian Sunnah .....................................................................
4
B.     Kedudukan Sunnah Sebagai Dasar Hukum Islam ........................
6


BAB III Penutup

A.    Kesimpulan ..............................................................................
10
B.     Saran Saran ..............................................................................
10


Daftar Pustaka ....................................................................................
11



iii
 

 


BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Sesungguhnya, sumber-sumber ajaran Islam berasal dari Al Quran dan Al Hadits. Kedua sumber inilah yang diistilahkan dengan "المصدران الأساسيان" (dua sumber pokok ajaran Islam). Karena itu, maka hal-hal yang berkaitan dengan aqidah, syariah dan muamalah bahkan akhlak selalu merujuk kepada kedua sumber tersebut.
Akan halnya Al Quran, ia tidak pernah mengalamai perubahan apalagi dipalsukan sebagaimana kitab-kitab suci agama lain. Keaslian Al Quran akan terjaga sepanjang masa karena Allah SWT sendiri yang menjaganya, sebagaimana yang ditegaskan olehNya dalam firmanNya dalam Q.S. al-Hijr ayat 9:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya".[1]
Dan karena manusia mau tidak mau tetap membutuhkan petunjuk sepanjang hayatnya, oleh karenanya Al Qur'an datang memenuhi kebutuhan hidup manusia ini. Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 185:
ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur ...
Terjemahnya:
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…".[2]  
Lain halnya dengan hadits atau sunnah Rasulullah SAW yang diriwayatkan kepada generasi sesudah Beliau SAW hingga ke generasi sekarang ini, tidaklah terlepas dari kecacatan, baik cacat pada matannya maupun sanadnya. Di samping itu, orang-orang yang sentimen dan tidak senang akan Islam serta kaum zindiq[3] tidak pula sedikit jumlahnya, yang senantiasa berusaha mengaburkan bahkan menumbangkan bangunan pondasi sumber kedua ajaran Islam ini sesudah Al Qur'an. Dikenallah kemudian adanya hadits shahih, hasan, dha'if (lemah) maupun maudhu' (palsu). Dan karenanya, perhatian para ulama terhadap hadits atau sunnah Rasulullah SAW ini sangatlah besar, khususnya dalam memilah dan memilih hadits yang bisa diyakini kebenarannya berasal dari Beliau SAW untuk kemudian diamalkan ataupun sebaliknya.apatah lagi, salah satu fungsi hadits adalah bayan (penjelas) terhadap Al Qur'an. Sekalipun pada yang saat yang sama, terdapat perbedaan di kalangan para ulama tentang pengertian hadits dan atau sunnah. Mereka tidaklah sepakat dalam mendefinisikan hadits atau sunnah, sehingga muncullah perbedaan pengertian antara istilah hadits dan istilah sunnah.
Di kalangan ummat Islam ada yang menolak bahkan mengingkari keberadaan hadits sebagai sumber ajaran Islam dengan berbagai argumentasi (sebagai buntut atau manifestasi dari usaha pengaburan di atas). Kenyataan ini 'memaksa' para ulama untuk berpikir filosofis guna menjawab atau membantah argumentasi-argumentasi para pengingkar tersebut. Berpikir filosofis untuk kemudian menemukan pijakan ontologis yang meyakinkan. Pijakan ontologis akan bermakna bila didukung oleh pijakan epistemologis dan aksiologis yang menggambarkan bagaimana pemahaman dan penerimaan hadits yang handal dan bernilai adanya, yang selanjutnya bisa diekspresikan, diapresiasi dan diamalkan sepanjang zaman.
Memang, tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan tiang penyangga pengetahuan yang disusun dan dibangun. Ketiga komponen itu adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas ruang lingkup obyek penelaahan dan penafsiran tentang hakikat realitas dari obyek ontologis tersebut. Epistemologi merupakan asas cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi satu tubuh pengetahuan. Sedang aksiologinya merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan.[4]
B.      RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas, maka penulis dalam makalah ini akan membahas tentang “Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam” dengan sub pembahasan sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan Sunnah.?
2.      Apa Kedudukan as-Sunnah dalam Islam..?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN SUNNAH
Disetiap diskusi keagamaan sering kita dengarkan kata “sunnah” dibahas sebagai suatu pegangan bagi umat Islam untuk mendapatkan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat kelak, kata Sunnah biasayanya diinterpretasikan dengan kata hadis.
Sebelum penulis lebih lanjut membahas tentang sunnah terlebih dahulu penulis akan membahas defenisi dari as-Sunna tersebut. Pengertian Etimologi
Sunnah menurut bahasa ialah jalan atau cara yang ditempuh (الطريقة أو السيرة), baik (المحمودة) ataupun buruk (المذمومة).[5] Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
" من سن سنة حسنة فله أجرها و أجر من عمل بها إلي يوم القيامة, و من سن سنة سيئة  فعليه وزرها و وزر من عمل بها إلي يوم القيامة ".
Artinya:
Barang siapa yang menempuh jalan (atau cara) yang baik, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengamalkannya hingga hari kiamat. Dan barang siapa yang menempuh cara yang jelek, maka atasnya dosa dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat".[6]
Hadits di atas ini menunjukkan kata "sunnah" digunakan untuk sesuatu yang baik dan terpuji, juga digunakan untuk sesuatu yang jelek dan tercela.
Sedang menurut istilah, sunnah berarti segala sesuatu yang didapatkan dari Rasulullah SAW berupa perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat atau akhlak Beliau SAW (yang patut dicontoh).[7]
Defenisi lain menyebutkan, sunnah adalah apa-apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW serta yang dilarangnya, begitu pula yang dianjurkannya, dari perkataan dan perbuatan Beliau SAW yang belum atau tidak disinggung oleh Al Qur'an.[8]
Kedua defenisi di atas membatasi pengertian sunnah hanya pada perkataan, perbuatan, taqrir, dan gambaran akhlak. Bahkan pada defenisi kedua, dibatasi hanya pada perkataan perbuatan saja. Hal ini dapat dipahami oleh karena sunnah terkesan direduksi menjadi sesuatu yang harus diamalkan oleh umat Islam yang nota bene pengikut Nabi SAW. Ia kemudian harus dilembagakan lalu dilaksanakan oleh kaum muslimin. Karenanya, T. M. Hasbi Ash-Shiddiqi dalam hal ini memberikan definisi bahwa sunnah adalah sesuatu yang diucapkan atau dilaksanakan Nabi SAW secara terus menerus, dinukilkan dari masa ke masa dengan jalan mutawatir. Nabi SAW melaksanakannya beserta para sahabat, lalu oleh para tabi'in dan generasi berikutnya sampai pada masa-masa berikutnya sehingga menjadi pranata sosial dalam kehidupan umat Islam.[9]
Lebih jauh, Bravman memperlihatkan makna konkrit dari kata "sanna" (akar kata "sunnah") yang berarti menyerahkan sejumlah uang atau barang kepada seseorang, dimana kata ini telah diperluas dalam penggunaan khusus untuk menunjuk kepada tindakan, yang lewat tindakan ini menentukan sesuatu.[10] Akibatnya, sunnah tentu saja menunjuk kepada suatu praktek yang ditentukan atau dilembagakan  oleh orang tertentu atau sekelompok orang tertentu.[11]
Yang jelas, kedua defenisi di atas identik dengan pengertian sunnah yang pernah dikemukakan oleh para ulama ushul fiqhi serta para fuqaha tentang sunnah, dimana mereka membatasi sunnah hanya pada perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah SAW sebagai sumber dalil syariat yang menelorkan hukum-hukum syariat. Sementara ulama fiqhi (fuqaha) membahasnya dari sisi dimana seorang Rasulullah SAW tindak tanduknya tidaklah keluar dari hukum syariat yang tentunya berkaitan dengan umatnya, baik itu wajib, haram, mubah, makruh dan seterusnya.[12]
B.     Kedudukan Sunnah sebagai Dasar Hukum Islam
Al Qur'an yang merupakan sumber utama dan pokok syariat Islam- sebagian besar kandungannya bersifat global, absolut, umum dan universal sehingga memerlukan rincian, batasan dan penjelasan. Secara umum dapat dikatakan bahwa Al Qur'an membutuhkan al bayan (keterangan atau penjelasan lebih lanjut).
Ketika Al Qur'an memerintahkan shalat misalnya, atau puasa, zakat, haji, berbuat adil, taqwa, beramal saleh dan seterusnya atau melarang sesuatu, Al Qur'an pun tidak menjelaskan bagaimana cara melaksanakan perintah-perintah tersebut atau meninggalkan larangan yang ada. Begitu pula syarat-syaratnya, hukum-hukumnya dan lain-lain sebagainya tidak diuraikan oleh Al Qur'an. Dari sini, hadits dan sunnah berperan penting. Ia kemudian datang untuk menjelaskan, menafsirkan, mengulas, merinci dan melaksanakan perintah-perintah Al Qur'an tersebut dalam berbagai bentuk al bayan yang ada. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surat an-Nahl ayat 44:
 ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
Terjemahnya:
…Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan".[13]
Dengan demikian, hadits dan sunnah memberikan gambaran yang sangat jelas bagaimana melaksanakan Al Qur'an dalam kehidupan. Dan karenanya, hadits dan sunnah sangatlah penting kedudukannya dalam Islam. Ia kemudian menjadi sumber hukum atau pokok syariat kedua setelah Al Qur'an.
Hadits dan sunnah dalam posisinya sebagai al bayan terhadap Al Qur'an, maka tentunya tidaklah sembarangan adanya. Ia bersumber dari seorang hamba Allah SWT, hamba yang dipilih olehNya untuk mengemban risalah agung yang bernama Islam. Ia dilantik menjadi nabi sekaligus rasul, yang menjadi benang merah pemisah antara dirinya dan manusia biasa yang lainnya. Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Kahfi ayat 110:
 ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ׎|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqム¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_ötƒ uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ Ÿwur õ8ÎŽô³ç ÍoyŠ$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ
Terjemahnya:
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa".[14]
Dari sini kita bisa memastikan bahwa Rasulullah SAW tidaklah sembarangan dalam bertutur dan bertindak. Beliau mendapat tuntunan langsung dari Sang Khaliq. Kalaupun dalam peristiwa tertentu sisi-sisi kemanusian Beliau lebih tampak dan menonjol, maka itu tak lain merupakan pula tuntunan bagi umatnya, bagaimana seharusnya mereka bertindak dan bersikap ketika mengalami hal yang sama atau relatif sama dengan yang dialami oleh Rasulullah SAW; panutan mereka. Jadi. Terdapat hiukmah besar dibalik itu semua. Karenanya, Allah swt menegaskan hal ini dalam firman-firmanNya, antara lain dalam surah an-Najm ayat 3-4:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Terjemahnya:
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)".[15]
Hanya saja memang, untuk mendapatkan kejelasan dan keyakinan akan riwayat-riwayat hadits dan sunnah bahwa ia benar-benar bersumber dari Rasulullah SAW bukanlah perkara mudah. Dari sini, peran para ulama salaf maupun khalaf –khususnya ulama-ulama hadits- sangatlah penting. Dan sungguh merupakan suatu  anugerah besar bagi umat ini, ketika para ulama tersebut (telah) berhasil dengan sangat gemilang merumuskan kaidah-kaidah keshahihan hadits dan sunnah, sehingga sekarang ini kita bisa dengan leluasa memilih dan memilah mana hadits dan sunnah yang patut diamalkan dan mana yang hanya merupakan 'kesalahan' atau kealpaan orang-orang yang berhati mulia dan berniat baik, ataukah ia hanyalah bualan orang-orang jahil atau konspirasi orang-orang jahat.
Sesungguhnya, kegemilangan dan kejayaan umat ini berbanding lurus dengan kepasrahan dan ketundukan serta kekonsistenan mereka dalam mengamalkan hadits dan sunnah Rasulullah SAW yang shahih. Tengoklah ke masa-masa sahabat Rasulullah SAW atau setidaknya di era-era pertama atau di abad-abad awal bangunan sejarah Islam, kejayaan demi kejayaan dapat diraih di segala bidang dan kegemilangan demi kegemilangan dapat direngkuh di segala sektor; tak lain dikarenakan perhatian mereka yang sangat besar serta kesungguhan mereka yang sangat tinggi dalam menginterpretasikan hadits dan sunnah Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari. Lihatlah, betapa Allah SWT menegaskan kepada kita bahwa "jalan lurus" (الصراط المستقيم ) yang sejatinya kita mohonkan kepadaNya adalah jalan orang-orang yang sebelumnya mendapatkan ni'mat yang besar dariNya karena mengamalkan Islam, ajaran hakiki setiap nabi dan rasul yang pernah diutus. Mereka para pengikut nabi dan rasul ini senantiasa mengamalkan sunnah nabi mereka, dan para sahabat Rasulullah SAW serta para tabi'in dan para ulama yang senantiasa berada di atas al haqq (kebenaran) ridhwanullahi 'alaihim senantiasa menjunjung tinggi dan mengamalkan hadits dan sunnah rasul mereka.



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Menurut bahasa sunnah adalah suatu jalan atau cara yang dilakukan baik ataupun buruk  dalam hal ini perbuatan terpuji yang telah diucapkan atau dilakukan oleh Rasulullah SAW sedangkan menurut istilah Sunnah adalah segala perbuatan, perkataan, taqrir Rasulullah SAW
2.      Sunnah merupakan penjelas dari dasar hukum Islam yang pertama yakni al-Qur’an, al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah SWT masih bersifat global yang perlu penjelasan yang rinci baik itu perintah maupun larangan sehingga kedudukan sunnah sebagai dasar hukum kedua dalam Islam adalah penjelas dari ayat-ayat yang difirman oleh Allah SWT.
B.     SARAN-SARAN
Dari pembahasan di atas tentunya kita sedikit telah mengetahui kedudukan sunnah sebagai dasar hukum Islam setelah al-Qur’an, olehnya itu melalui tulisan yang sangat sederhana ini penulis menyarankan dan mengajak kepada kita semua untuk sesantiasa memegang dan berlandaskan kepada sunnah Rasulullah dalam kehidupan kita untuk mendapatkan syafaat dari Rasulullah kelak di akhiran. Selain itu dengan berpegang teguh kepada dasar hukum ini insya Allah kita akan selamat baik di dunia maupun di akhirat kelak insya Allah. Amiiin


DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, 1989, al-Qur’an dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang.
Zahw Muhammad Abu, tth, al-Hadits wa al-Muhadditsun, Dar al-Fikr al-Arabi, Bairut.
Sumantri Jujun Surya, 2003, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, cet. XVI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Abdul Baqi Tahqiq Muhammad Fuad, tth, Shahih Muslim, , juz 3.  
M. Bravmann M., 1972, The Spiritual Background of Early Islam, Studies in Ancient Arab Concepts,  t.p, Laiden.


[1] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Toha Putra;Semarang;1989), h. 391.
[2] Ibid, h. 45
[3] Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, [tth]), hal. 264-265 serta hal. 338-339.
[4] Jujun Surya Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (cet. XVI; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, , 2003), hal. 126.
[5] Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun, (Beirut: Dar al-Fikr al---Arabi, [tth]), hal. 264-265 serta hal. 8-9.
[6] Hadits riwayat Imam Muslim dari Jarir bin Abdullah Al Bajali. Lihat: Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, juz 3, hal. 1303, no. hadits 1677.  
[7] Khaldun Ibrahim Salamat, op.cit. hal. 24
[8] Muhammad Muhammad Abu Zahw, op.cit. hal. 8
[9] T. M. Hasbi Ash-Shiddiqi, op.cit. hal. 21
[10] M. M. Bravmann, The Spiritual Background of Early Islam, Studies in Ancient Arab Concepts, (Leiden, t.p, 1972), hal. 152
[11] Ibid. hal. 155.
[12] Lihat: Izzuddin Baliq, op.cit. hal. 15. Juga: Muhammad Muhammad Abu Zahw, op.cit. hal. 9.
[13] Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 408
[14] Ibid, h. 460
[15] Departemen Agama RI, Ibid, h. 871    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar