Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.karena
atas segala limpahan taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
meyelesaikan makalah yang berjudul “Sunnah Sebagai Dasar Hukum Islam” dalam bentuk sederhana. Salawat dan salam senantiasa
tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagai suri tauladan dalam kehidupan
sehari-hari.
Penyusun meyadari segala kekurangan dan keterbatasan
kemampuan yang penyusun miliki dalam peyelesaian makalah ini. Oleh karena itu,
penyusun mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kebaikan dan
kesempurnaan makalah ini sehinggah dapat bermamfaat bagi kita semua.
Dengan segalah
kerendahan hati penyusun haturkan ucapan terimah kasih yang setulus-tulusnya
kepada:
1. Bapak Hannani, M. Ag., selaku dosen pengajar mata kuliah Ilmu Fiqh
dan Ushul Fiqh yang dengan ikhlas membagi pengetahuan dan bimbingannya kepada
kami
2. Kepala Perpustakaan dan pegawai yang telah menyiapkan dan melayani
mahasiswa khususnya dalam menyediakan buku referensi bagi kami
Akhirnya kepada Allah Swt. Kami serahkan segalanya, semogah
sumbangsinya di berikan pahala di sisi-Nya. Amin
Parepare,
11 Juni 2012
Penulis
|
DAFTAR ISI
Sampul ...............................................................................................
|
i
|
Kata Pengantar
....................................................................................
|
ii
|
Daftar Isi .............................................................................................
|
iii
|
|
|
BAB I Pendahuluan
|
|
A.
Latar
Belakang
..........................................................................
|
1
|
B.
Rumusan
Masalah .....................................................................
|
3
|
|
|
BAB II Pembahasan
|
|
A.
Pengertian
Sunnah .....................................................................
|
4
|
B.
Kedudukan
Sunnah Sebagai Dasar Hukum Islam ........................
|
6
|
|
|
BAB III Penutup
|
|
A.
Kesimpulan
..............................................................................
|
10
|
B.
Saran Saran
..............................................................................
|
10
|
|
|
Daftar Pustaka ....................................................................................
|
11
|
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Sesungguhnya, sumber-sumber ajaran Islam berasal dari Al Quran dan
Al Hadits. Kedua sumber inilah yang diistilahkan dengan "المصدران الأساسيان"
(dua sumber pokok ajaran Islam). Karena itu, maka hal-hal yang berkaitan dengan
aqidah, syariah dan muamalah bahkan akhlak selalu merujuk kepada kedua sumber
tersebut.
Akan halnya Al Quran, ia tidak pernah mengalamai perubahan apalagi
dipalsukan sebagaimana kitab-kitab suci agama lain. Keaslian Al Quran akan
terjaga sepanjang masa karena Allah SWT sendiri yang menjaganya, sebagaimana
yang ditegaskan olehNya dalam firmanNya dalam Q.S. al-Hijr ayat 9:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur'an dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya".[1]
Dan karena manusia mau tidak mau tetap membutuhkan petunjuk
sepanjang hayatnya, oleh karenanya Al Qur'an datang memenuhi kebutuhan hidup
manusia ini. Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 185:
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur ...
Terjemahnya:
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al
Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…".[2]
Lain halnya dengan hadits atau sunnah Rasulullah SAW yang
diriwayatkan kepada generasi sesudah Beliau SAW hingga ke generasi sekarang
ini, tidaklah terlepas dari kecacatan, baik cacat pada matannya maupun sanadnya.
Di samping itu, orang-orang yang sentimen dan tidak senang akan Islam serta
kaum zindiq[3]
tidak pula sedikit jumlahnya, yang senantiasa berusaha mengaburkan bahkan
menumbangkan bangunan pondasi sumber kedua ajaran Islam ini sesudah Al Qur'an.
Dikenallah kemudian adanya hadits shahih, hasan, dha'if
(lemah) maupun maudhu' (palsu). Dan karenanya, perhatian para ulama
terhadap hadits atau sunnah Rasulullah SAW ini sangatlah besar, khususnya dalam
memilah dan memilih hadits yang bisa diyakini kebenarannya berasal dari Beliau
SAW untuk kemudian diamalkan ataupun sebaliknya.apatah lagi, salah satu fungsi
hadits adalah bayan (penjelas) terhadap Al Qur'an. Sekalipun pada yang
saat yang sama, terdapat perbedaan di kalangan para ulama tentang pengertian
hadits dan atau sunnah. Mereka tidaklah sepakat dalam mendefinisikan hadits
atau sunnah, sehingga muncullah perbedaan pengertian antara istilah hadits dan
istilah sunnah.
Di kalangan ummat Islam ada yang menolak bahkan mengingkari
keberadaan hadits sebagai sumber ajaran Islam dengan berbagai argumentasi
(sebagai buntut atau manifestasi dari usaha pengaburan di atas). Kenyataan ini
'memaksa' para ulama untuk berpikir filosofis guna menjawab atau membantah
argumentasi-argumentasi para pengingkar tersebut. Berpikir filosofis untuk
kemudian menemukan pijakan ontologis yang meyakinkan. Pijakan ontologis akan
bermakna bila didukung oleh pijakan epistemologis dan aksiologis yang
menggambarkan bagaimana pemahaman dan penerimaan hadits yang handal dan
bernilai adanya, yang selanjutnya bisa diekspresikan, diapresiasi dan diamalkan
sepanjang zaman.
Memang, tiap pengetahuan memiliki tiga komponen yang merupakan
tiang penyangga pengetahuan yang disusun dan dibangun. Ketiga komponen itu
adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi merupakan asas dalam
menetapkan batas ruang lingkup obyek penelaahan dan penafsiran tentang hakikat
realitas dari obyek ontologis tersebut. Epistemologi merupakan asas cara
bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi satu tubuh
pengetahuan. Sedang aksiologinya merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan.[4]
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar
belakang di atas, maka penulis dalam makalah ini akan membahas tentang “Sunnah
Sebagai Sumber Hukum Islam” dengan sub pembahasan sebagai berikut:
1.
Apa yang
dimaksud dengan Sunnah.?
2.
Apa Kedudukan
as-Sunnah dalam Islam..?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
SUNNAH
Disetiap
diskusi keagamaan sering kita dengarkan kata “sunnah” dibahas sebagai suatu
pegangan bagi umat Islam untuk mendapatkan keselamatan baik di dunia maupun di
akhirat kelak, kata Sunnah biasayanya diinterpretasikan dengan kata hadis.
Sebelum penulis lebih lanjut membahas tentang sunnah terlebih
dahulu penulis akan membahas defenisi dari as-Sunna tersebut. Pengertian Etimologi
Sunnah menurut bahasa ialah jalan atau cara
yang ditempuh (الطريقة أو السيرة), baik (المحمودة) ataupun buruk (المذمومة).[5]
Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
" من سن سنة حسنة فله
أجرها و أجر من عمل بها إلي يوم القيامة, و من سن سنة سيئة فعليه وزرها و وزر من عمل بها إلي يوم القيامة
".
Artinya:
Barang siapa yang menempuh jalan (atau cara)
yang baik, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengamalkannya hingga hari
kiamat. Dan barang siapa yang menempuh cara yang jelek, maka atasnya dosa dan
dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat".[6]
Hadits di atas ini menunjukkan kata
"sunnah" digunakan untuk sesuatu yang baik dan terpuji, juga
digunakan untuk sesuatu yang jelek dan tercela.
Sedang menurut istilah, sunnah berarti segala
sesuatu yang didapatkan dari Rasulullah SAW berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
ataupun sifat atau akhlak Beliau SAW (yang patut dicontoh).[7]
Defenisi lain menyebutkan, sunnah adalah
apa-apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW serta yang dilarangnya, begitu
pula yang dianjurkannya, dari perkataan dan perbuatan Beliau SAW yang belum
atau tidak disinggung oleh Al Qur'an.[8]
Kedua defenisi di atas membatasi pengertian
sunnah hanya pada perkataan, perbuatan, taqrir, dan gambaran akhlak.
Bahkan pada defenisi kedua, dibatasi hanya pada perkataan perbuatan saja. Hal
ini dapat dipahami oleh karena sunnah terkesan direduksi menjadi sesuatu yang
harus diamalkan oleh umat Islam yang nota bene pengikut Nabi SAW. Ia
kemudian harus dilembagakan lalu dilaksanakan oleh kaum muslimin. Karenanya, T.
M. Hasbi Ash-Shiddiqi dalam hal ini memberikan definisi bahwa sunnah adalah
sesuatu yang diucapkan atau dilaksanakan Nabi SAW secara terus menerus,
dinukilkan dari masa ke masa dengan jalan mutawatir. Nabi SAW melaksanakannya
beserta para sahabat, lalu oleh para tabi'in dan generasi berikutnya sampai
pada masa-masa berikutnya sehingga menjadi pranata sosial dalam kehidupan umat
Islam.[9]
Lebih jauh, Bravman memperlihatkan makna
konkrit dari kata "sanna" (akar kata "sunnah")
yang berarti menyerahkan sejumlah uang atau barang kepada seseorang, dimana
kata ini telah diperluas dalam penggunaan khusus untuk menunjuk kepada
tindakan, yang lewat tindakan ini menentukan sesuatu.[10]
Akibatnya, sunnah tentu saja menunjuk kepada suatu praktek yang ditentukan atau
dilembagakan oleh orang tertentu atau
sekelompok orang tertentu.[11]
Yang jelas, kedua defenisi di atas identik
dengan pengertian sunnah yang pernah dikemukakan oleh para ulama ushul fiqhi
serta para fuqaha tentang sunnah, dimana mereka membatasi sunnah hanya pada
perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah SAW sebagai sumber dalil syariat
yang menelorkan hukum-hukum syariat. Sementara ulama fiqhi (fuqaha) membahasnya
dari sisi dimana seorang Rasulullah SAW tindak tanduknya tidaklah keluar dari
hukum syariat yang tentunya berkaitan dengan umatnya, baik itu wajib, haram,
mubah, makruh dan seterusnya.[12]
B.
Kedudukan
Sunnah sebagai Dasar Hukum Islam
Al Qur'an yang merupakan sumber utama dan
pokok syariat Islam- sebagian besar kandungannya bersifat global, absolut, umum
dan universal sehingga memerlukan rincian, batasan dan penjelasan. Secara umum
dapat dikatakan bahwa Al Qur'an membutuhkan al bayan (keterangan atau
penjelasan lebih lanjut).
Ketika Al Qur'an memerintahkan shalat
misalnya, atau puasa, zakat, haji, berbuat adil, taqwa, beramal saleh dan
seterusnya atau melarang sesuatu, Al Qur'an pun tidak menjelaskan bagaimana
cara melaksanakan perintah-perintah tersebut atau meninggalkan larangan yang
ada. Begitu pula syarat-syaratnya, hukum-hukumnya dan lain-lain sebagainya
tidak diuraikan oleh Al Qur'an. Dari sini, hadits dan sunnah berperan penting.
Ia kemudian datang untuk menjelaskan, menafsirkan, mengulas, merinci dan
melaksanakan perintah-perintah Al Qur'an tersebut dalam berbagai bentuk al
bayan yang ada. Perhatikanlah firman Allah SWT
dalam surat an-Nahl ayat 44:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Terjemahnya:
…Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar
kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan supaya mereka memikirkan".[13]
Dengan demikian, hadits dan sunnah memberikan
gambaran yang sangat jelas bagaimana melaksanakan Al Qur'an dalam kehidupan.
Dan karenanya, hadits dan sunnah sangatlah penting kedudukannya dalam Islam. Ia
kemudian menjadi sumber hukum atau pokok syariat kedua setelah Al Qur'an.
Hadits dan sunnah dalam posisinya sebagai al
bayan terhadap Al Qur'an, maka tentunya tidaklah sembarangan adanya. Ia
bersumber dari seorang hamba Allah SWT, hamba yang dipilih olehNya untuk
mengemban risalah agung yang bernama Islam. Ia dilantik menjadi nabi
sekaligus rasul, yang menjadi benang merah pemisah antara dirinya dan manusia
biasa yang lainnya. Allah SWT berfirman dalam Q.S.
al-Kahfi ayat 110:
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ×|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqã ¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_öt uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ wur õ8Îô³ç Íoy$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ
Terjemahnya:
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini
hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa
sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa".[14]
Dari sini kita bisa memastikan bahwa
Rasulullah SAW tidaklah sembarangan dalam bertutur dan bertindak. Beliau
mendapat tuntunan langsung dari Sang Khaliq. Kalaupun dalam peristiwa tertentu
sisi-sisi kemanusian Beliau lebih tampak dan menonjol, maka itu tak lain
merupakan pula tuntunan bagi umatnya, bagaimana seharusnya mereka bertindak dan
bersikap ketika mengalami hal yang sama atau relatif sama dengan yang dialami
oleh Rasulullah SAW; panutan mereka. Jadi. Terdapat hiukmah besar dibalik itu
semua. Karenanya, Allah swt menegaskan hal ini dalam firman-firmanNya, antara
lain dalam surah an-Najm ayat 3-4:
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
Terjemahnya:
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al
Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)".[15]
Hanya saja memang, untuk mendapatkan kejelasan
dan keyakinan akan riwayat-riwayat hadits dan sunnah bahwa ia benar-benar
bersumber dari Rasulullah SAW bukanlah perkara mudah. Dari sini, peran para
ulama salaf maupun khalaf –khususnya ulama-ulama hadits-
sangatlah penting. Dan sungguh merupakan suatu
anugerah besar bagi umat ini, ketika para ulama tersebut (telah)
berhasil dengan sangat gemilang merumuskan kaidah-kaidah keshahihan hadits dan
sunnah, sehingga sekarang ini kita bisa dengan leluasa memilih dan memilah mana
hadits dan sunnah yang patut diamalkan dan mana yang hanya merupakan
'kesalahan' atau kealpaan orang-orang yang berhati mulia dan berniat baik,
ataukah ia hanyalah bualan orang-orang jahil atau konspirasi orang-orang jahat.
Sesungguhnya, kegemilangan dan kejayaan umat
ini berbanding lurus dengan kepasrahan dan ketundukan serta kekonsistenan
mereka dalam mengamalkan hadits dan sunnah Rasulullah SAW yang shahih. Tengoklah
ke masa-masa sahabat Rasulullah SAW atau setidaknya di era-era pertama atau di
abad-abad awal bangunan sejarah Islam, kejayaan demi kejayaan dapat diraih di
segala bidang dan kegemilangan demi kegemilangan dapat direngkuh di segala
sektor; tak lain dikarenakan perhatian mereka yang sangat besar serta
kesungguhan mereka yang sangat tinggi dalam menginterpretasikan hadits dan
sunnah Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari. Lihatlah, betapa Allah SWT
menegaskan kepada kita bahwa "jalan lurus" (الصراط
المستقيم ) yang sejatinya kita
mohonkan kepadaNya adalah jalan orang-orang yang sebelumnya mendapatkan ni'mat
yang besar dariNya karena mengamalkan Islam, ajaran hakiki setiap nabi dan
rasul yang pernah diutus. Mereka para pengikut nabi dan rasul ini senantiasa
mengamalkan sunnah nabi mereka, dan para sahabat Rasulullah SAW serta para
tabi'in dan para ulama yang senantiasa berada di atas al haqq (kebenaran)
ridhwanullahi 'alaihim senantiasa menjunjung tinggi dan mengamalkan
hadits dan sunnah rasul mereka.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Menurut bahasa sunnah adalah suatu jalan atau cara yang dilakukan
baik ataupun buruk dalam hal ini
perbuatan terpuji yang telah diucapkan atau dilakukan oleh Rasulullah SAW
sedangkan menurut istilah Sunnah adalah segala perbuatan, perkataan, taqrir
Rasulullah SAW
2. Sunnah merupakan penjelas dari dasar hukum Islam yang pertama yakni
al-Qur’an, al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah SWT masih bersifat global yang
perlu penjelasan yang rinci baik itu perintah maupun larangan sehingga
kedudukan sunnah sebagai dasar hukum kedua dalam Islam adalah penjelas dari
ayat-ayat yang difirman oleh Allah SWT.
B.
SARAN-SARAN
Dari pembahasan
di atas tentunya kita sedikit telah mengetahui kedudukan sunnah sebagai dasar
hukum Islam setelah al-Qur’an, olehnya itu melalui tulisan yang sangat
sederhana ini penulis menyarankan dan mengajak kepada kita semua untuk
sesantiasa memegang dan berlandaskan kepada sunnah Rasulullah dalam kehidupan
kita untuk mendapatkan syafaat dari Rasulullah kelak di akhiran. Selain itu
dengan berpegang teguh kepada dasar hukum ini insya Allah kita akan selamat
baik di dunia maupun di akhirat kelak insya Allah. Amiiin
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, 1989, al-Qur’an dan Terjemahnya, Toha
Putra, Semarang.
Zahw Muhammad Abu, tth, al-Hadits wa al-Muhadditsun, Dar
al-Fikr al-Arabi, Bairut.
Sumantri Jujun Surya, 2003, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer, cet. XVI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Abdul Baqi Tahqiq Muhammad Fuad, tth, Shahih
Muslim, , juz 3.
M. Bravmann M., 1972, The Spiritual
Background of Early Islam, Studies in Ancient Arab Concepts, t.p, Laiden.
[1] Departemen
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Toha Putra;Semarang;1989), h. 391.
[3] Muhammad
Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, [tth]), hal.
264-265 serta hal. 338-339.
[4] Jujun Surya Sumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (cet.
XVI; Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, , 2003), hal. 126.
[5]
Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun, (Beirut: Dar al-Fikr
al---Arabi, [tth]), hal. 264-265 serta hal. 8-9.
[6] Hadits
riwayat Imam Muslim dari Jarir bin Abdullah Al Bajali. Lihat: Shahih Muslim,
tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, juz 3, hal. 1303, no. hadits 1677.
[10] M.
M. Bravmann, The Spiritual Background of Early Islam, Studies in Ancient
Arab Concepts, (Leiden, t.p, 1972), hal. 152
[15] Departemen
Agama RI, Ibid, h. 871
Tidak ada komentar:
Posting Komentar